Cerpen Cinta; Kotak Terpendam

20:46 Unknown 2 Comments


“Apa kamu mencintaiku?”

Kalimat dalam sebuah pesan. Kalau saja itu bukan darinya, aku tak mungkin sekacau ini. Aku tak akan segelisah ini. Aku tak akan terkejut seperti ini. Aku mudah saja membalasnya. Tapi itu darinya.

***

Tepat 6 bulan yang lalu aku bertemunya. Moza Daegal. Setelah hari kelulusan SMP waktu itu, dia pindah ke Jakarta, aku tetap di Jogja. Kami dipertemukan kembali dengan rencana Tuhan yang tak akan terpikirkan oleh akal manusia. Kami satu panggung. Dia bernyanyi, aku membaca puisi. Tak kusangka dia bisa bernyanyi semerdu itu.

“Aku lebih kaget lagi, yang dulu selalu menutupi wajahnya dengan topi, di kelas kerjaannya diem, disuruh nyanyi di depan kelas malah gemeteran, lalu –“

“Cukup. Itu masa lalu, Za,” potongku

Kami tertawa. Aku menyeruput milk tea yang masih hangat.

“Oh, ya, bagaimana dengan Satria?” tanyaku

“Oh, iya. Hampir saja lupa,” Ia menepuk jidatnya sendiri, lalu meninggalkan uang di meja, terburu-buru pergi, “sampai nanti, ada yang hampir kulupakan!” katanya sambil berlari. Ia masih sama seperti waktu SMP dulu. Selalu terburu-buru, mungkin kebiasaan karena sering terlambat sekolah tempo dulu.

Padahal, tujuanku bertanya mengenai Satria tidak lain adalah untuk memastikan ia tak benar-benar tertarik dengan Satria -vokalis band-. Tapi jika aku boleh memaksa pikiranku berpikiran baik, semoga yang Moza lupakan itu kado atau ucapan ulang tahunku hari ini. Batinku. Aku duduk sebentar, menghabiskan minumanku. Setelah itu harus bekerja. Menyiarkan radio.

***

“Spesial karena hari ini ulang tahun mas Akbar, dia harus bercerita mengenai percintaannya. Setuju?! Gak adil, kan, kalo selama ini mas Akbar yang dengerin curhatan kita,” sambar Arina, rekan kerjaku, setelah beberapa saat aku membuka siaran radio hujan dalam acara curhatan seperti biasa.

Sial! Aku yang tak pernah pacaran apa yang menarik dari kisah cintaku. Setelah memberi pertanyaan dasar, apakah aku jomlo? Apa kriteria perempuan yang kusuka? Arina mulai bertanya ke tingkat yang lebih tinggi.

“Menurut mas Akbar jatuh cinta itu apa?”

“Jatuh cinta? Satu-satunya jatuh yang tak ke bawah tapi ke atas,” jawabku sederhana

“Waw. Kapan pertama kali mas Akbar jatuh cinta? Ceritain dong pengalamannya?”

Kenangan di kepalaku tiba-tiba bermunculan seperti awan yang menurunkan hujan.

“Kelas 1 SMP. Setiap dia ulang tahun, aku selalu menuliskan ucapan di kertas kecil, tapi gak pernah aku berikan. Aku simpen di kamar, di dalam kotak. Sekarang masih ada. Setiap malam, aku mengirimkan pesan salam lewat radio dengan atensi, sayangnya dia gak suka mendengar radio. Jadi dia gak pernah tahu. Wajar, dulu, kan, aku belum punya handphone. Haha.”

Dan beruntung beberapa pertanyaan Arina yang lainnya terjawab dengan baik. Karena Arina sedikit banyak sudah tahu mengenaiku. Secara ia juga temanku dari SMP. Mungkin ia menanyakan hal yang tak membongkar aib-aibku.

“Dipersilakan untuk penelpon menanyakan apa aja ke mas Akbar. Tapi sebelum itu, kita dengerin dulu lagu dari Dhyo Haw – Ada aku di sini,” lanjut Arina

Biarkan aku, jadi sesuatu yang berarti untukmu tapi tidak sesaat.

Biarkan aku, jadi tempat untuk bersandar di saat kau terpuruk rapuh.


Acara malam itu berjalan lancar. Aku langsung pulang dan terpaksa menolak ajakan Arina serta rekan kerja lainnya untuk makan-makan, merayakan ulang tahunku. Aku ingin merayakan hari ulang tahunku bersama Moza meski dia sampai saat ini belum mengucapkan apapun untukku. Mungkin dia memang lupa atau mungkin dia memang tak pernah mengingat.

Sebelum pulang aku mampir ke toko kue dekat kontrakan untuk mengambil pesanan tadi siang. Ini bukan kali pertamanya aku membeli kue ulang tahun untuk ulang tahunku sendiri. Konyol memang. Tapi, ya, mungkin ini cara untuk mengingatkan Moza bahwa hari ini aku ulang tahun dan aku jatuh cinta padanya.

Setelah keluar dari toko itu, aku melihat Moza baru saja turun dari mobil, seseorang membukakan pintu untuknya. Lalu Moza melambaikan tangan untuknya.

***

Aku menunggu Moza di kontrakan. Kue itu sengaja aku taruh di kulkas, menguji Moza untuk terakhir kalinya, apakah ia ingat bahwa hari ini aku berulang tahun?

“Apa itu?” kataku saat Moza membuka sebuah kotak

“Coba pake!” pintanya, aku segera memakainya.

“Keren, Bar!” pendapat Moza melihatku mengenakan kemeja lengan panjang yang dia berikan, “eit, jangan dicopot!” katamu melarang saat aku ingin melepaskan merk-nya. Alisku kutarik menyatu. Bingung.

“Itu hadiah buat Satria. Aku sengaja belinya diem-diem. Besok malam band-nya tampil dalam acara ulang tahun komunitas mobil.  Pasti dia suka. Iya, kan, Bar?”

Aku terdiam sebentar. Entah kenapa saat aku bernafas, seperti ada yang menyumbat di dada. Sesak.

“Pasti,” jawabku seadanya dan langsung melepaskan kemejanya. Lalu dia melipatnya rapih-rapih dan memasukkan kembali ke kotak. Kemudian seperti biasa, pamit dengan terburu-buru. Katanya ia lelah dan ingin segera tidur.

Mungkin memang kebodohanku, waktu itu aku mengenalkan Moza dengan Satria –temanku, ia vokalis band dan suka membaca puisi- . Aku sering membiarkannya mengobrol berdua di kafe tempat biasa kami membacakan puisi seminggu sekali. Aku sering memberi tahu apa hadiah yang bagus untuk Satria, lagu yang bagus untuknya berduet dengan Satria di soundcloud. Dan tanpa aku sadari, aku telah membantu seseorang yang aku cintai, mencintai seseorang, seseorang yang bukan aku.

Pada ulang tahunku yang ke-24, aku mendapati tiga hal; pertama, selalu ada yang patah hati saat kamu jatuh hati. Kedua, yang lebih mengkhawatirkan bukan cinta diam-diam tapi patah hati dalam-dalam. Dan terakhir, tak ada pencuri hati, yang ada kita memberikannya gratis dengan sepenuh hati.

Aku langsung memutuskan, mulai saat itu pelan-pelan aku akan menjauhinya. Itu adalah satu-satunya cara mengobati luka yang terlanjur ada. Untuk ke-sekian kalinya, malam ulang tahunku aku rayakan di kontrakan sendirian. Minum kopi, meniup lilin dan makan kue ulang tahun sendirian, menulis ucapan ulang tahun untuk diri sendiri tanpa menyalakan lampu, lalu menunggu sampai tertidur. Yang terakhir tak pernah terjadi.

Aku seperti lilin ulang tahun ini, yang ada untuk ditiadakan. Yang menyala untuk dipadamkan. Seperti itulah patah hati, Za.

***

“Apa kamu mencintaiku?”

Aku lumpuh. Tiba-tiba saja dia mengirimkan pesan seperti itu saat aku dan Arina sedang minum kopi di kafe dekat kantor. Jika aku membacanya sambil minum kopi, mungkin aku akan tersedak. Selama 5 bulan yang lalu kami memang intens berkomunikasi, tapi sudah 1 bulan ini kami berjarak. Tak dekat lagi. Aku mencoba melupakannya dan mendekati Arina. Tapi tiba-tiba dia mengirim pesan seperti itu. Mana tidak kaget. Tak kubalas. Tapi beberapa menit setelah itu, dia mengirimkan pesan yang menanyakan itu kembali.

“Apa kamu mencintaiku, Bar?”

Jangan bercanda, Moza! Ya, aku jatuh cinta saat kita kembali bertemu, satu panggung saat itu. Aku mencintaimu.

“Ngaco?” balasku singkat

Setelah itu dia tidak membalas lagi. Aku berpikir bahwa handphone-nya dibajak temannya atau dia sedang galau karena Satria atau…

“Aku menaruh sesuatu di depan pintu kontrakanmu. Ambillah. Maaf, aku melupakan hari ulang tahunmu waktu itu.”
 

Setelah membuka balasannya lagi, aku langsung pamit pulang kepada Arina.

“Masih hujan, Bar?” cegah Arina

“Gak apa-apa. Sudah lama tidak hujan-hujanan, hehe,” Aku memakai jaketku kembali dan memberi senyum kepada Arina agar kegelisahan dan kekahwatiranku tak ia temukan.

Terkadang, aku ingin menjadi hujan, setiap titik-titik air yang jatuh dapat membanjiri kepala seseorang dengan kenangan. Tentang aku dan seseorang, yang sempat dekat.

“Bar!” Aku menoleh kepadanya, “Jaga kesehatanmu,”  lanjutnya, aku berterimakasih, “aku mencintaimu, Bar,” pengungkapannya mengejutkanku, aku segera pamit kepadanya, seperti tak mendengar kalimat terakhirnya. Lagi, selalu ada yang patah hati saat kamu jatuh hati.

***

Aku memandang dua kotak di atas meja. Satu kotak milikku -kotak lama dari SMP yang selalu kusimpan- dan satu kotak lagi dari Moza yang baru saja ia berikan. Kali ini lebih mengejutkan. Tak pernah kusangka, cinta bisa bercanda seperti ini.

Isi dalam kedua kotak tersebut sama. Berisi 6 potongan kertas ucapan ulang tahun. Berarti selama 6 kali dalam 6 tahun kami mengucapkan hari kelahiran seseorang.

Milikmu: “Happy birthday to you, Akbar.”

Ya, Moza mengucapkankannya untukku. Tak kusangka ia diam-diam menyukaiku. Waktu itu, mungkin sekarang tidak.

Milikku: “Happy birthday to you, Arina.”

Ya. Waktu itu aku diam-diam menyukai Arina sampai kelulusan SMA. Tapi, aku tak pernah membicarakan aku cinta. Bagiku itu hal tersulit dari beberapa hal yang dianggap sulit. Sulit itu bukan tanda tak berani. Aku berani tapi itu perihal yang sulit; aku harus mengatakan aku cinta kepadanya tepat pada saat ia mencintai seseorang, seseorang yang juga mencintainya. Cukup sulit, kan?

Barangkali, satu-satunya penantian yang membuat kita ngeyel bertahan dan lupa pada waktu adalah penantian seseorang yang kita cinta. Tapi, setelah hari kelulusan itu, aku memutuskan untuk tak mengharapkan Arina lagi. Sampai pada dua bulan yang lalu, aku bertemu dia kembali di tempat kerjaku, di Radio. Tapi aku sudah tak mencintainya lagi. Mungkin.

Handphone-ku menyala kembali. Sebuah pesan dari Moza.

“Peduli amat kamu mau baca ini atau enggak. Habisnya aku bingung gimana bisa nemuin kamu. Setiap aku telpon, kamu gak pernah angkat. Kurang lebih satu bulan yang lalu aku ditolak Satria, Bar. Tapi entah kenapa, malam ini namamu adalah rindu.”

Aku terkekeh. Cinta bisa bercanda seperti ini. Malam ini namamu adalah rindu. Itu judul puisiku, Za!

“Sebentar, kenapa tiba-tiba ada Arina di kepalaku? Kenapa aku mengkhawatirkannya? Kenapa seperti ada kesalahan besar yang telah kulakukan kepadanya? Aku harus menemuinya.” kata hatiku

Aku beranjak dari kursi –dengan tergesa-gesa- mengambil kunci lalu keluar rumah. Dan  betapa terkejutnya, melihat perempuan berdiri mematung sudah basah kuyup di depan rumah. Kedua tangannya memeluk dirinya sendiri. Menggigil.

“Aku mencintaimu, Bar,” ungkap Moza, lalu tiba-tiba tubuhnya ambruk. Pingsan. Sontak aku langsung menolongnya.

Maaf, tapi aku jatuh cinta lagi kepada Arina, Za. Hukum ini tak akan bisa berhenti, Za; selalu ada yang patah hati saat kamu jatuh hati meski tanpa kamu sadari.

2 komentar:

Terimakasih udah ngeluangin waktunya buat baca ini. Sebelum pergi, baiknya tinggalkan jejak. Jejak untuk dikenang. Dikenang keindahannya. Jadilah tak terlupakan. Silakan coret kalimat di kolom komentar. :)