Wi-fi dan Hal Lain Yang Lebih Penting

13:41 Unknown 25 Comments


wi-fi dan hal lain yang lebih penting
Tugu Payan Mas, Tugu Kotabumi

Tampaknya Bapak Agung kami, bupati Lampung Utara sudah mulai peka mengenai satu dari sekian perasaan warganya. Baru-baru ini, di taman dan tugu kota sudah tersedia wi-fi gratis. Dan itu artinya, kota kita tak perlu takut lagi kehabisan kuota.

Kota, kita dan kuota. Ketiga hal itu berkawan baik satu sama lain. Kita butuh kota agar hubungan punya tempat tinggal. Dan kuota, seringkali jadi perantara yang bagus untuk mempertemukan kita di zaman layar sentuh dan malu berkenalan secara langsung ini. Ya, pura-pura ngerti sajala, kita yang saya maksud itu anak-anak muda gemes sekarang.

Terima kasih, Pak Agung dan rekanan atas pemasangan wifi-nya. Eh, sebentar. Tunggu dulu.

Sebelum berterima kasih kepada beliau, ada baiknya kita nggak melupakan Hedy Lamar. Artis Wanita Hollywood yang terkenal dan sensasional di era perang dunia. Tapi jangan salah. Mbak Hedy Lamar dan temannya inilah penemu sistem komunikasi rahasia di tahun 1942. Alat yang sangat membantu sekali mempertahankan keamanan dalam komunikasi militer pada waktu itu. Singkatnya, penemuan tersebut jugalah yang menjadikan lahirnya teknologi modern di zaman ini; handphone, bluetooth dan ya, wi-fi.

Kabarnya, akan ada teknologi terbaru macam wi-fi, yaitu li-fi (light fidelity). Kecepatan internetnya 1Gpbs bahkan bisa sampai 224 Gbps hanya dengan bantuan lampu LED. Tapi, jangan dibayanginlah. Masih ada kartu tri, kok. Ehgimana-gimana.

Yang jelas, terima kasih untuk Mbak Hedy Lamar.
wi-fi dan hal lain yang lebih penting
Taman Santap, Taman Kota

Garis bawahi; artis terkenal dan sensasional bisa menemukan alat yang berguna untuk masa depan.

Jadi, tidak menutup kemungkinan, artis-artis terkenal dan sensasional di Indonesia yang sering kita cemooh dan nyinyirin itu bisa juga membuat penemuan-penemuan canggih—yang kita tidak tahu. Mungkin, Bang Ipul sedang bikin alat-alat hebat untuk masa depan. Siapa yang tahu. Halah!

Kembali lagi ke wi-fi di pusat kota. Ada hal yang luput dari rekanan saat memasang wi-fi gratis di taman kota, ialah pemasangan colokan. Padahal ini penting. Apalagi untuk laptop saya yang ditinggal buang air kecil saja sudah mati kalau tidak di-charge.

Dan, saya juga punya banyak kenalan yang memiliki permasalahan sederhana tapi cukup rumit. Permasalahan itu jauh lebih penting dari proyek pengadaan wi-fi gratis di pusat kota, yaitu pengadaan wife bagi jomlo yang umurnya kian menua.

Juga barangkali tidak ada perempuan yang peduli dengan tetek bengek atau siapa itu Hedy Lamar yang sudah saya jelaskan sesingkat-singkatnya di atas. Yang lebih mereka pedulikan ialah; kapan adek dilamar?

Itu.

25 komentar:

Terimakasih udah ngeluangin waktunya buat baca ini. Sebelum pergi, baiknya tinggalkan jejak. Jejak untuk dikenang. Dikenang keindahannya. Jadilah tak terlupakan. Silakan coret kalimat di kolom komentar. :)

Celengan Babi

20:10 Unknown 2 Comments



Kenangan serupa saudara jauh yang bertamu tiba-tiba. Asal bisa menerima, segalanya akan baik-baik saja, termasuk soal luka.

Celengan babi. Benda itu sudah dihadapan kami. Aku menimang seperti bayi. Kami belum memiliki bayi. Hujan di luar masih deras, aku memadamkan lampu kamar dan membiarkan nyala lilin menerangi ruangan ini agar suasana makin mendukung untuk mengenang, untuk berjalan jauh ke belakang.

*

Kian. Dia yang memberikan benda ini tepat di hari ulang tahunku yang ke enam belas tahun. Kado macam apa untuk lelaki seumuran itu? Harusnya dia memberikan jam tangan ori yang dibungkus rapih dan di dalamnya diselipkan beberapa puisi. Kalau dia tidak bisa membuat atau menulis puisi, dia bisa mengutip puisi Pablo Neruda dan lain-lain, asal jangan Tere Liye. Maksudku, kata-kata Tere Liye sudah sering dibagikan orang banyak. Jadi, pasti ketahuan.

Aku menerima kado yang tidak dibungkus itu dengan terpaksa dan senyum kecut.

“Mulai hari ini,” katanya, “sisihkan uangmu untuk pernikahan kita kelak. Kita mesti mempersiapkannya dari sekarang.”

Aku tertawa. Dia tidak.

“Aku serius,” katanya.

“Kenapa harus celengan? Kita bisa bikin ATM.”

“Nggak. Kalau ATM, masih bisa kita ambil. Kapanpun. Kalau celengan, harus dipecahkan. Tapi, ini celengan limited. Orang lain nggak ada yang punya. Jadi, kamu nggak bisa ngakalin dengan beli celengan baru lagi.”

Aku diam. Ada jeda sebentar. Mengeluarkan dompet di saku celana belakang dan memasukkan selembar uang seratus ribu.

“Kamu marah?” Dia tertawa menggoda.

“Biar lebih cepat,” kataku sekaligus menyindir, “sekarang giliranmu, calonku,” Aku menyodorkan celengan itu. Seramah dan semanis mungkin.

“Nggak-nggak!” Dia tertawa, tambah bahagia. Aku semakin kecut, “tenang. Aku juga punya celengan seperti itu.”

Heh. Kami saling senyum.

Sekolah sudah sepi sejak tadi. Baju kami sudah penuh coretan tanda tangan dan pilok warna-warni. Sore kami rasa Minggu pagi. Langit masih saja terang dan aku tidak ingin gelap datang. Pada Bumi atau pada hati kami.

“Lusa aku jadi berangkat,” Langit tiba-tiba gelap. Sedikit kebahagiaan dicuri dalam diriku.

“Pulang, yuk!” ajakku.

“Kita mampir makan dulu.”

“Uangmu tadi sudah lebih dulu dimakan celengan babi.”

Dia melongo. Aku lari. Tertawa.

Celengan babi. Benda itu benar-benar menjadikanku disiplin dan pecundang pada saat yang bersamaan. Lusa yang dikatakan Kian adalah hari kepergiannya ke Jogjakarta sekaligus hari terakhir ia tinggal di Lampung. Tambahan; seminggu sejak kepergiannya, ia tak ada kabar. Mengabari, tidak sama sekali. Tetapi, kisah mana yang selalu tetap? Dengan bodohnya, aku masih menabung. Babi itu makin gemuk. Aku sebaliknya.

Aku ingin menjadi serigala yang setia hanya pada satu kekasih. Sekali, seperti hidup manusia di dunia. Tetapi, kisah mana yang selalu tetap? Aku bertemu Pratiwi. Kesetiaanku kacau tapi hidup mulai membaik. Seperti kisah pada umumnya, pertemuan selalu sederhana, perpisahanlah yang membuatnya begitu rumit.

Aku bertemu Pratiwi di tempat perpisahan; pemakaman. Agak lucu memang, manusia tidak lahir dan mati sendirian. Di belahan bumi lain, pasti ada yang lahir seperti hari kelahiranmu. Begitu juga dengan kematian.

Aku menghadiri pemakaman yang salah karena terlambat. Kukira itu adalah pemakaman Abah Gede—kakek temanku yang sudah kuanggap sebagai kakek, ternyata itu adalah pemakaman teman Pratiwi. Jaraknya memang agak berdekatan dan sama-sama dipenuhi para pelayat.

Aku dan Pratiwi, percaya atau tidak; sama-sama salah menghadiri pemakaman. Aku baru menyadari saat Pratiwi ditelepon temannya bahwa ia salah tempat. Temannya yang menelepon tepat di sampingku.

“Salah makam, ya?” kata pertama yang aku ucapkan saat berpapasan dengannya. Dia tersenyum. Mungkin malu. “Kamu nggak sendiri.” lanjutku.

Dari kejauhan aku meliriknya, ia bercakap-cakap dengan temannya itu. Banyak tersenyum. Aku tahu mereka membicarakanku. Itu  gosip yang paling membahagiakan.

Setelahnya kami berkenalan lebih jauh dan dalam lagi. Aku dan Pratiwi tidak pernah mengucapkan saling cinta. Tidak dengan kata-kata tetapi prilaku. Aku tidak pernah bermasalah dengan itu. Yang terpenting, perasaanku tidak jatuh sendirian.

Aku ingin memberi tahu hal; ini bukan masalah seseorang yang bingung memilih masa lalu atau masa kini. Tetapi tentang hal yang sederhana; celengan babi.

Suatu sore, tiba-tiba saja Kian menemuiku di kontrakan. Aku sudah wisuda dan bekerja sebagai karyawan biasa di perusahaan makanan ringan. Dia tahu alamatku dari teman lama. Datang dengan penuh penyesalan dan minta maaf—ada menangisnya juga.

“Aku—“ Masih ragu. Aku ingin bilang bahwa aku sudah punya pacar. Tetapi, dia lebih dulu mengeluarkan sesuatu dari tas. Ya, celengan babi.

“Tabungan ini kukira sudah cukup. Bisa kita pecahkan sekarang?”

Dia mulai menghitung mundur bahkan sebelum aku menjawab iya atau tidak. Dan setelah hitungan ke satu, ia menjatuhkan celengan itu di lantai. Pecah! Babi itu mengeluarkan banyak uang. Dia tidak menatap celengan yang pecah itu. Matanya berair, ia menggeleng-geleng seakan kecewa.

Aku masih menggenggam erat celengan itu. Beberapa detik kemudian dia pergi. Sebelum pergi dia mengatakan; sebelum menemui kamu, aku sudah menemui Pratiwi.

Pelan-pelan, aku memunguti uang yang berserakan itu dan segera menelepon Pratiwi.

“Saya sudah tahu semuanya. Termasuk tentang Kian,” katanya, “Kamu jangan ke kontrakan saya. Karena itu sia-sia. Saya sudah menulis alamat tempat saya tinggal sekarang di kertas kecil. Kertasnya saya masukkan di celengan jelekmu itu.”

Tut. Dia mematikan teleponnya. Aku belum berkata sepatah kata pun.

Besoknya aku berjalan-jalan di pasar dan tidak sengaja melihat celengan babi—sama seperti punyaku, dijual di salah satu toko. Uang Kian, segera aku kembalikan.

*

Hujan di luar masih deras. Lilin membakar dirinya sendiri dan sebentar lagi nyalanya akan padam. Celengan babi itu masih utuh, entah berapa jumlah uang di dalamnya. Aku menyalakan lampu kembali. Banyak nyamuk. Diana—istriku yang sedari tadi mendengar penuh perhatian, tersenyum.

“Masa lalu yang indah,” katanya, “kadang hal-hal sederhana memiliki kenangan yang rumit juga hebat, ya. Tapi, kenapa kamu nggak pilih salah satu dari mereka?” tanyanya.

“Sederhana; karena mereka bukan kamu,” Aku tersenyum menggenggam tangannya, “sekarang giliranmu, amplop yang kamu pegang itu, bagaimana kenangannya?”

Dia menarik napas panjang.

“Dulu…” Diana berdehem, “dulu, aku lesbi.”

Aku kehilangan kata-kata. Gempa bumi di dalam diri.

“Aku bercanda, lho,” Diana menyerahkan amplop itu kepadaku, “aku hamil, Mas.”

2 komentar:

Terimakasih udah ngeluangin waktunya buat baca ini. Sebelum pergi, baiknya tinggalkan jejak. Jejak untuk dikenang. Dikenang keindahannya. Jadilah tak terlupakan. Silakan coret kalimat di kolom komentar. :)

Bagaimana Mempekerjakan Keikhlasan?

21:39 Unknown 6 Comments

foto by unsplash

“Ikhlas itu apa?” tanyanya.

Saya heran dengan manusia-manusia yang mengamalkan ikhlas hanya jika—setelah sebuah kepergian atau kehilangan. Sudah, ikhlaskan saja kepergiaannya. Ambil saja hikmahnya. Kalimat-kalimat seperti dan semacam itu seringkali kamu dengar di sebuah pemakaman atau setelah kehilangan seseorang atau sesuatu hal yang penting dalam hidup. Lucunya, yang menyuruh ikhlas bukanlah orang yang bisa ikhlas.

Kenapa harus menunggu sebuah kepergian atau kehilangan dulu, baru “ikhlas” itu dipekerjakan?

Dan bodohnya—saya berani berkata dengan amat jujur; saya tidak bisa menyediakan ruang kerja ikhlas di dalam kepala atau hati saya. Sebab, saya tidak pernah siap mengikhlaskan kehilangan yang baru saja terjadi atau menyiapkan keikhlasan untuk segala hal yang akan terjadi.

Termasuk pada hari itu. Hari yang seharusnya saya tidak memilih pergi konsultasi ke rumah sakit. Hari penuh kejutan; tanggal merah pada hari Senin.

“Saya turut berduka,” Dokter itu memulai pembicaraan dengan bahasa yang tidak enak betul untuk didengar. Dan diakhiri dengan nasehat yang malah cocok digunakan untuk keadaan politik Negara ini. “Sabar dan ikhlas.”

Saya mandul. Bukan istri saya. Sialan! Jika saja sebaliknya, saya bisa memiliki istri lagi. Tapi, saya yang mandul. Lucu? Saya menulisnya dengan amat menyedihkan, andai kamu tahu.

“Kamu bisa menikah lagi, Beb…” kata saya.

“Hah?”

Saya pergi. Dia tidak menahan sama sekali.

***

“Ikhlas itu apa, Om?” tanyanya lagi. Membuyarkan ingatan saya tentang luka.

“Nama toko manisan.” jawab saya. Yang bertanya malah melongo. Saya menunjuk ke seberang. Tepat pada plang toko. Anak kecil itu tertawa—jika saya boleh asal menebak, umurnya lima tahun. Saya diam saja. Hujan makin deras. Kami bakal berteduh lama di sini. Di depan toko yang sudah tutup.

Seseorang nenek mendekat ke kami—saya tidak memperhatikan ia datang dari mana. Mungkin dari toko yang berada di ujung kiri dan tidak mungkin menyembul tiba-tiba dari aspal.

“Mungkin,” kata anak kecil itu. Kepala saya dipadati masalah, “mungkin ikhlas itu nama pemilik toko. Pak Ikhlas. Hehe.”

Gadis mungil tersenyum. Saya masih diam saja. Ohya? Bodok amatlah, Dek! Abang lagi pusing. Seperti itu kira-kira.

“Hoi!” Saya bener-bener kaget. Sumpah! Dasar nenek funky! Dandanannya dengan jeans robek di lutut, jaket hitam dan topi. Gila.

“Masih muda sudah banyak melamun. Sekarang jam berapa, Ganteng?” tanya nenek funky.

Saya melotot. Nenek tersenyum.

“Jam setengah empat, Nek.” Ramah saya menjawab. Lebih tepatnya, luka saya amat sakit.

Toko-toko di sini memang sudah pada tutup jam setengah tiga. Kenapa? Memang sudah dari dulu.

“Ganteng-ganteng tapi budek. Jam berapa sekarang?!” suaranya cempreng serupa suara mainan kapal air yang sering dijual di pasar malam lapangan dekat rumah.

“Jam enam sore, Nek!” Saya teriak sekeras yang saya bisa. Gadis mungil tertawa. Nenek menepuk-nepuk bahu saya. Pertanyaannya diulang; jam berapa? Saya menahan emosi dan menjawabnya dengan isyarat. Sekarang hujan makin deras campur gledek. Mungkin langit ikut emosi.

Gadis mungil dan nenek funky tertawa. Duka saya bertambah.

“Siapa nama kamu anak manis? Kenapa sendirian di sini?” Kali ini nenek bertanya pada gadis mungil.

Saya bakal mulai tersenyum.

***

“Hah?”

Saya pergi. Dia tidak menahan sama sekali. Tepat selangkah keluar dari rumah, Kumala—istri saya melayangkan luka dan duka secara bersamaan.

“Lebih baik kita cerai, Mas.”

Sejak kapan perceraian itu baik, Kumala? Saya menoleh dan tersenyum kecut. Kemudian dia melayangkan high heels-nya. Sabar dan ikhlas, Kumala. Persetan!

***

“Kumala.” jawabnya tepat di telinga nenek. Seperti berbisik tapi suaranya besar. Persetan! Saya melonjak kaget.

“Kumala?” Saya memastikan.

“Namanya Kumala. Ganteng-ganteng kok budek, sih!”

Gadis mungil dan nenek funky tertawa bersamaan. Saya menarik napas dalam. Mereka melanjutkan obrolan. Saya tidak mau mendengarkan lagi. Di sebelah toko—berjarak dua toko dari tempat kami berteduh, tiba-tiba saja dibuka. Tumben sekali. Seseorang bapak tua keluar dengan tergesa-gesa.

Kemudian… ya. Bergabung bersama kami. Hujan belum reda, obrolan masih berjalan. Begitu juga dengan luka di dada kiri saya.

“Kurang ajar sekali ayahmu itu, anak manis.” Nenek mengelus rambut gadis mungil, “sabar dan ikhlaskan saja, ya. Nanti kamu ikut Om ini.”

“Ikhlas itu apa, Nek? Tadi Ayah juga menyuruh aku ikhlas.”

Awalnya saya biasa saja. Tapi setelah tahu apa yang terjadi kepada gadis mungil, saya jadi kelabakan. Jujur, saya tidak peduli mengenai gadis mungil. Saya lebih peduli terhadap luka dalam diri saya. Sedang yang ada di luar diri adalah debu, adalah semu. Tidak saya pedulikan.

Termasuk bertanya kenapa gadis mungil sendirian di sini? Kenapa nenek funky memilih berpenampilan seperti belalang? Kenapa engko-engko (saya suka sekali memanggil bapak-bapak cina yang sering menjaga toko dengan panggilan itu) tiba-tiba pergi dengan tergesa-gesa?

Tapi, saya jadi tertarik mendengar cerita-cerita mereka.

Ayah gadis mungil menyuruhnya untuk menunggu di depan toko ini. Rumahnya di Jakarta. Tapi, ini di Lampung. Semua orang dewasa tahu bagaimana nasib gadis mungil ini selanjutnya.

Nenek funky semasa mudanya sudah tumbuh di jalanan. Tetapi, sekarang ia memiliki rumah dan suami yang mencintainya. Katanya. Tapi kenapa dia di sini? Tentu saja saya tidak bertanya kepadanya. Luka dan duka membuat saya tidak ingin berteriak. Kecuali dalam hati.

Engko-engko. Saya tertawa mendengar ceritanya. Ya, saya sendiri. Ia diusir istrinya karena hal sepele; menyembunyikan remot tv. Padahal, toko mereka adalah toko elektronik. Yang pasti menjual remot tv untuk semua merk tv. Ya, kan?

“Kamu kenapa di sini?”

“Kalo Om, kenapa di sini?”

Pertanyaan mereka bersamaan. Yang berbeda, satu suara lembut, satu ala cina dan satu lagi suara belalang. Entah kenapa saya suka menyebutnya belalang. Saya diam agak lama. Menimbang untuk diceritakan atau tidak. Pilihannya yang pertama.

Hujan sudah mulai reda. Matahari pulang kerja. Tapi, luka masih saja deras terasa dalam dada.

Selesai cerita semua terdiam. Nenek mengelus punggungku. Saya heran kenapa nenek suka mengelus? Hujan sudah reda. Saya pamit pulang dengan semua.

“Lo olang kalo pulang semua, gimana dengan gadis cantik ini? Dan saya?” Pertanyaan engko-engko itu lebih seperti mencegah saya.

“Kamu bawa pulang saja anak manis ini. Angkat sebagai anak,” Nenek memberi saran.

Saya tambah pusing. Perceraian seperti di depan mata.

“Oke. Kumala, kamu ikut Om pulang saja, ya.”

“Nggak, Om. Ayah menyuruhku menunggu di sini. Aku akan menunggu ayah menjemputku.”

“Kalian dengar?” Saya ingin mereka berdua menyaksikan, “dia nggak mau ikut saya. Biarin aja dia nunggu selamanya seperti Hachiko.”

Mereka berdua mengomel seperti menggongong. Saya akhirnya membawa Kumala pulang. Tetapi, hal di luar dugaan muncul. Nenek pikun, lupa jalan pulang. Engko memohon menumpang semalam, karena istrinya ngambek tidak lebih dari sehari.

Situasi makin rumit saja. Luka dalam hati saya sulit menemukan jalan keluar.

Saya menggendong gadis mungil yang tertidur di balik punggung saya. Rasanya bulan berada di atas kepala saya. Indah. Nenek bernyanyi, engko menyuruh nenek berhenti. Saya tertawa. Lupa pada luka, lupa pada duka. Selamanya atau sementara?

***

Kumala—istri saya tentu saja nyaris jantungan ketika membuka pintu dan melihat saya seperti membawa keluarga baru. Dia diam saja dengan mulut sedikit terbuka. Kemudian menutup pintu dengan cara dibanting. Brak!

Saya duduk di teras dan menidurkan gadis mungil di kursi panjang. Nenek dan engko sibuk mengetuk pintu dan membujuk Kumala sampai pada akhirnya kembali dibuka. Tetapi saya tidak boleh masuk. Tidak apa-apa. Kata saya. Jangan lupa beri makan gadis mungil itu. Dia lapar.

Dua jam setelah itu, Kumala—istri saya membuka pintu dan mendekati saya. Yang lain sudah pada tidur. Selama dua jam sebelumnya, entah apa yang dibicarakan.

“Kamu mau angkat mereka semua jadi keluarga baru?”

“Nggak.” Saya tersenyum, “cukup Engko aja.”

“Hah? Maksud kamu?”

“Bercanda. Gadis mungil aja.”

Kumala tersenyum. Senyum bulan pindah di wajahnya. Gemas sekali melihatnya.

“Maaf,” ucap saya. Dia sudah paham mengenai apa yang saya maksud. Ikhlaskan saja. Katanya. Kumala menggenggam tangan saya erat. Kami saling berhadapan. Kumala mencium bibir saya.

“Masuk yuk! Aku buatin mie rebus campur telor.”

Saya tidak tahu bagaimana cara kerja atau mempekerjakan keikhlasan. Saya hanya mencoba menerima apa yang telah terjadi dalam hidup saya. Lalu meminta maaf dan memaafkan, termasuk kepada diri sendiri.

Saya menyusul Kumala dan memeluknya dari belakang.

Saya ingin menyediakan ruangan khusus dan nyaman agar keikhlasan bisa bekerja dengan baik? Tapi, bagaimana mempekerjakan keikhlasan?


6 komentar:

Terimakasih udah ngeluangin waktunya buat baca ini. Sebelum pergi, baiknya tinggalkan jejak. Jejak untuk dikenang. Dikenang keindahannya. Jadilah tak terlupakan. Silakan coret kalimat di kolom komentar. :)

Manis Yang Berbulu

12:40 Unknown 3 Comments




Sudah lama nggak nulis di blog. Ada jeda selama tiga bulan lebih. Nulis setelah lama nggak nulis rasanya kaku kayak bincang pertama kali sama calon mertua atau ngerjain soal ujian matematika di kantor guru. Sendirian. Malam hari. Penerangannya cuma nyala lilin doang.

Eh, itu mah uji nyali.

Sekarang sudah jam setengah dua belas. Itu artinya malam minggu tanggal tiga puluh Januari bakal ketemu akhir. Sunyi dan sepi. Tapi, mata belum mau diajak tidur. Kopi masih ada sedikit. Tiga teguk. Tenang, kopinya nggak beracun, kok. Sianidanya saya pisah.

Di pojok ruangan, ada kucing saya yang sudah tidur dari jam delapan tadi.

Entah cuma kucing saya atau semua watak kucing memang menghabiskan waktu dengan tidur(?). Mungkin dunia di dalam tidurnya lebih nyata dan menyenangkan ketimbang dunia saat dia terjaga. Kucing saya bangun cuma karena satu hal; makan.

Seringkali dia bangun di waktu yang nggak tepat. Saat-saat stok makanan kosong. Sayangnya lapar kucing ternyata nggak bisa ditunda—meski dengan Okky Jelly Drink. Kalau sudah begitu, saya membiarkannya mencari makan di luar rumah. Ya, dalam hal ini saya bukanlah contoh majikan yang baik.

Pernah suatu ketika ia mengalami kesialan. Mencari makan di luar rumah ternyata bukan pilihan yang baik. Kucing saya seringkali pulang dengan bulu-bulu yang basah. Haru melihat kucing yang kebasahan saat hari sedang cerah-cerahnya. Saya mengeringkan badannya dan ia terus mengeong yang nggak saya pahami maksudnya. Yang pasti satu hal;

Ada yang membuatnya basah. Disiram(?)

Di rumah, saya pernah memelihara dua kucing. Pertama, kucing yang sekarang lagi tidur ini dan kedua, anak kucing tanggung yang tiba-tiba masuk ke rumah entah dari mana. Yang akhirnya dipelihara nggak lebih dari dua tahun. Kucing kedua meninggal karena sakit yang nggak begitu jelas. Mungkin dalam bahasa kedokteran di dunia kucing disebut “Miaw”.

Selama masa pemeliharaan, kedua kucing itu nggak pernah berteman semenit pun. Masing-masing. Hidup sendiri-sendiri. Saya pernah berpikir, apakah kucing nggak mengalami rasa kesepian seperti yang dialami manusia jika hidup sendirian? Kalau mereka merasa kesepian, gimana cara kucing mengatasi itu? Kalau nggak, kenapa bisa nggak?

Soalnya, kucing perempuan yang saya pelihara dari masih bayi ini sudah kehilangan sanak saudaranya. Kakak-kakaknya sudah mati, induknya pergi tiba-tiba tanpa kabar, tanpa meninggalkan surat. Dan dia adalah kucing perempuan yang gagal punya keturunan. Anak-anaknya lahir dan kemudian mati. Singkat. Jika kucing saya adalah manusia, mungkin kesehatan tubuhnya sudah digerogoti oleh pikiran. Sungguh dramatis sekali kisah ini. Semoga Mas Hanung Bramantyo membaca ini. Halah!

Sebaliknya, ternyata kucing ini bisa mengatasi kesedihannya dengan baik. Dia masih sanggup hidup lama. Sampai sekarang. Umurnya beda lima tahun dengan umur saya. Sekarang umur saya 20 tahun. Namanya, Manis. Dia adalah salah satu manis yang berbulu. Ehgimana.

Jika saya sedang kesepian, dia bisa saya manfaatkan dengan sebaik-baiknya. Di situlah salah satu hal menyenangkan dari yang namanya memelihara. Apapun yang dipelihara, yang pasti kita menabung kasih sayang. Yang pada akhirnya, tabungan kasih sayang itu kembali ke kita.

Tapi, saya sadar; jauh di luar itu, memelihara kucing sama saja menyiapkan kehilangan dan kesedihan. Waktu itu pasti datang. Saya sudah dua kali mengalaminya.

Saya pernah baca entah di mana; jika kucing merasa umurnya sudah sangat pendek, ia akan berusaha untuk pergi meninggalkan rumah dan pemiliknya sebelum kematian datang. Maybe.

Nah… Ini Manis bangun. Mau ngapain dia deket-deket sini? Mau nemenin saya nulis? Ah. Nggak mungkin deh. Pasti mau makan.

Jangan naik meja! Awas kopi!

Oke. Terima kasih, Manis. Kopinya tumpah.

Sebenernya yang majikan itu saya atau kucing?

3 komentar:

Terimakasih udah ngeluangin waktunya buat baca ini. Sebelum pergi, baiknya tinggalkan jejak. Jejak untuk dikenang. Dikenang keindahannya. Jadilah tak terlupakan. Silakan coret kalimat di kolom komentar. :)