Perempuan Di Pinggir Buku

21:49 Unknown 5 Comments


foto by google


“Ini punya kamu, kan?” Dijah Kuning menyorongkan buku lusuh, penuh lipatan dan debu. Di pinggir buku itu, terpajang samar namanya; Yuki Kato.

BAHAYA.

Perlahan, aku menyeruput teh hangat buatan Ibu. Mencecap rasa, mengais sisa-sisa cerita.

*

Jam istirahat sekolah hari itu menjadi amat berbeda, saat Dijah dengan napas terengah mengabarkan berita penting.

“Ge!” Dijah mengagetkan. “Ada salam.”

“Gak ada.” jawabku enteng. Padahal degup jantung sudah berubah tak beraturan. Dijah memang suka mengagetkan. Pernah suatu ketika ia mengagetkan Guru dengan menjatuhkan meja. Juga mengagetkan seluruh murid sekolah dengan pura-pura kesurupan (hanya aku yang tahu dia berpura-pura). Bisa jadi, seiring terlatih, dia bakal mengagetkan nyamuk yang hendak menggigit.

“Maksud gue, ada yang naksir kamu loh...”

“Siapa?” tanyaku cepat. “Yuki Kato anak kelas 7A itu?”

“Kok tahu, sih?”

“Serius?”

“Ge-er, bercandalah…”

Aku lupa, Dijah juga suka berbohong. Tapi bagiku, kabar itu kuanggap serius. Yuki, perempuan berhijab berkulit putih. Pagi tadi aku melihatnya. Kudengar ia murid berprestasi. Jadi, aku tahu bagaimana membuat perkataan Dijah benar-benar menjadi kenyataan.

Belajar serius agar kenaikan kelas aku mendapat kelas A, yang mungkin sama dengannya. Dan itu benar terjadi. Selama dua tahun aku satu kelas dengan Yuki.

Perlahan aku mendekatinya; mulai memandang dari kejauhan, mencuri nomor hp-nya dari biodata sampai meminjam bukunya sebagai alasan.

Beruntung, di tahun kedua ketika ujian, Yuki duduk tepat di belakang kursiku. Dekat kami menjadi pertanda.

“Nomor 24 jawabannya apa?” bisik Yuki sambil menendang-nendang kursiku. Senyumnya lebih gemas dari senyum bayi.

“B.” Mantap. Aku menjawab. “Yang jawabannya A, nomor berapa aja?”

Tiba-tiba seluruh pasang mata menyorot ke arahku. Menghakimi. Padahal soal pertanyaan itu hanya alibi untuk mengenalkan soal perasaan.

Semakin hari kedekatan kami makin baik. Meski kami tak pernah berbicara secara langsung barang sejam pun. Kami tahu, dekat kami bukan sekadar kata, melainkan rasa yang sama.

Tepat beberapa hari kelulusan SMP, kami sepakat menjalin hubungan. Tapi.

*

“Woy!” Dijah mengaburkan lamunanku, “malah bengong…”

“Iya-iya” jawabku belum sadar penuh saat menerima buku itu.

Aku menyeruput teh lagi. Sudah mulai dingin. Hujan belum reda. Tapi rindu ini masih saja hangat.

*

Cerita ini akhirnya diangkat ke layar fiksi, ya. Semoga selanjutnya di film-in. Aamiin. Haha.

Ini tentang pertama kali rasa itu muncul. Masih kecil, masih suka mandi hujan, panas-panasan dan mecahin kaca rumah orang pake bola kaki. Setelah dewasa, kaca rumah sendiri yang dipecahin anak-anak tetangga. Kan, asem…

Cat: Cerpen ini diikutsertakan untuk menjawab tantangan #KampusFiksi. Ada yang lebih sulit lagi, gak? Sombong... *kemudian ketiban genting rumah*

5 komentar:

Terimakasih udah ngeluangin waktunya buat baca ini. Sebelum pergi, baiknya tinggalkan jejak. Jejak untuk dikenang. Dikenang keindahannya. Jadilah tak terlupakan. Silakan coret kalimat di kolom komentar. :)