Yang Tidak Logis tapi Terjadi di Pantai Jungwok

15:06 Unknown 1 Comments


Oh, ternyata catatannya belum ditulis admin. Mohon bersabar, silakan kembali besok. Maaf atas ketidaknyamanan ini.


1 komentar:

Terimakasih udah ngeluangin waktunya buat baca ini. Sebelum pergi, baiknya tinggalkan jejak. Jejak untuk dikenang. Dikenang keindahannya. Jadilah tak terlupakan. Silakan coret kalimat di kolom komentar. :)

Yang Melingkar di Pergelangan Saya

21:51 Unknown 9 Comments

foto by Dini Meditria

Sudah hampir setahun saya tidak menulis. Cerpen saya sekali dimuat di koran. Saudara saya bilang; berhenti. Buat apa? Dan seharusnya saya memang berhenti. Tapi, tiba-tiba saya dapat email dari seseorang yang saya kenal.

Sejak SD, MTs, SMA dan kuliah, saya malas sama komunitas. Di bangku SD, saya tidak pernah ikut satu organisasi apa pun. Di MTs, sekolah mewajibkan tiap murid harus punya minimal satu ektrakulikuler. Saya memilih bergabung ekskul catur, tapi tidak pernah main catur. Saya tiba-tiba direkrut menjadi anggota osis oleh kakak kelas, tetapi sama sekali tidak pernah ikut rapat. Di SMA, saya masuk dalam Rohis dan Science. Di Rohis saya nongol cuma karena ada acara jalan-jalan. Di Science, saya tiba-tiba dicatat dan diminta salah satu guru untuk ikut lomba olimpiade dikarenakan saya terlihat pintar padahal tidak sama sekali.

Dan benar, guru saya lebih dulu sadar; saya tidak jadi diikutkan lomba dua hari sebelum lomba dilaksanakan. Bodohnya, seminggu sebelum itu saya sudah belajar dengan sangat rajin.

Saat kuliah, saya berkawan dengan anak-anak Mapala. Selama seminggu saya menyiapkan diri untuk mendaki Merbabu, tetapi sehari sebelum Mendaki, saya memutuskan tidak jadi ikut dan memilih pergi ke pantai.

Terkadang, saya tidak suka berlama-lama di keramaian yang membosankan.

Anehnya, saya malah masuk dalam komunitas nulis dengan jumlah ribuan orang di dalamnya; Kampus Fiksi.

Sore yang gerimis pada tanggal 27 Januari. Saya menuju gedung Kampus Fiksi bersama teman baik saya, Munawir. Kami menempuh perjalanan kurang lebih setengah jam dengan pakaian sedikit basah karena hujan. Masih saya ingat, tiga langkah saya memasuki gedung KF, mbak-mbak di sana langsung heboh!

Saya sudah diledek sebelum dipersilakan duduk, ditagih oleh-oleh dengan mbak-mbak yang saya tidak tahu siapa dan ternyata dia punya nama Nae; perempuan yang saya kenal lewat grup WA, tapi tidak pernah pasang foto wajahnya dengan jelas. Yang lebih ekstrim, saya dimarah-marah tepat pada pertemuan pertama. “Seharusnya kalau kamu tidak menang lomba nulis di twitter KF, aku pasti sudah tiga kali menang berturut-turut,” katanya. Saya cuma bisa bengong. Dosa apa yang pernah saya lakukan? Dan setelah itu saya baru tahu namanya adalah Bene.

Benedikta Sekar.

Perihal Twitter

Saya tidak menyangka hanya karena followers saya lumayan banyak, beberapa anak KF dan bodohnya oleh yang benar-benar selebtwit mengira saya selebtwit. Saya pernah di-DM selebtwit, dimintai tolong untuk membicarakan suatu hal. Tetapi saya tolak. Bukan karena saya sombong, melainkan saya sadar, saya tidaklah berpengaruh.

Di KF, saya sudah kenal dengan beberapa orang lewat twitter. Pak Edi Akhiles yang baik hatinya, Mbak Tiw dan Mbak Ve. Saya senang sama dua perempuan itu karena twit-twitnya lucu. Tapi, akhirnya saya tahu kenapa mereka bisa selucu itu; ada seseorang yang lain di belakang mereka, yang tidak banyak orang tahu.

Juga yang tidak diketahui teman-teman atau Mbak Ve adalah saya difolbek beliau setelah saya follow dua kali.

Selebtwit macam apa coba yang mau follow orang dua kali dulu baru difolbek? Jadi, teruntuk mentor nulis saya, Mbak Ayun yang tidak saya lupakan tetapi pasti melupakan naskah saya, berhenti panggil saya selebtwit. Saya malu, sumpah!

Tapi, pertanyaannya; bagaimana bisa saya memiliki followers 18.940-an tanpa harus menjual obat peninggi badan atau teh peluntur lemak atau ngadain writing challange selama sepuluh hari?

Caranya sederhana, teman-teman. Buat 18.900 akun twitter lalu follow ke akun utama kamu. Kalau memang teman-teman punya niat melakukan itu, saya sarankan berhenti mengonsumsi micin.

Perihal Nama

Nama memang sudah jadi masalah sejak pertama saya masuk kelas apa saja. Banyak pengalaman yang lucu dan ngeselin soal nama ini tapi tidak akan saya bahas. Ada hal-hal yang cukup disenyumin aja dan itu benar-benar cukup.

Nama saya Mas Agus, memang pake ‘Mas’. Lumayanlah buat mahar pernikahan kita nanti. Dan entah kenapa saya selalu merasa aneh tiap kali nulis nama sendiri. Yang hanya tahu saya lewat sosmed, banyak yang mengira bahwa umur saya 32 atau 27, pokoknya di atas 25. Padahal umur segitu cocoknya untuk para mentor KF. Cari ribut! Maaf!

Bukan karena wajah saya tua, tapi di sosmed, saya tidak pernah menyebar foto. Akun-akun sosmed saya tidak pernah menunjukkan foto saya secara jelas. Saya sengaja membuat orang-orang penasaran. Dan itu salah satu ilmu menjual; buat penasaran.

Dua tahun lebih saya berusaha menahan diri untuk tidak memperlihatkan wajah saya. Sialnya, setelah ikut KF foto saya menyebar di mana-mana; twitter, dinding facebook, pintu wc, bagian belakang sempak. Hii...seram. Dan jauh lebih sial lagi ternyata orang-orang nggak peduli sama hal itu! Bodoamat! Fix, saya memang bukan seleb. Tapi, Pak Edi yang baik hatinya mau membawa saya seperti Boy Candra.

Duh, Gusti...

Seperti hujan yang jatuh ke bumi, meski terhempas, ia akan tetap jatuh, Pak.

Balik lagi perihal nama, saya sebetulnya sudah sangat menerima. Meski aneh, unik, kadang ditertawakan, tapi ternyata nama saya lumayan membekas di kepala beberapa orang. Dan tidak menutup kemungkinan, dari kepala turun ke hati. Azek.

Terima kasih.

Yang Pecah di Kampus Fiksi

Malam, 27 Januari, pada jam delapan dan dingin. Acara dibuka dengan MC dadakan oleh mbak-mbak yang lebih banyak senyam-senyum, ketawa-pratiwi, lupa sama luka-lukanya tapi saya tahu itu hanya sementara.

Malam itu, saya penasaran dengan sosok Pak Edi selaku CEO Divapress. Saya punya pertanyaan untuknya, tapi dia tidak ada. Pembukaan diwakilkan oleh salah satu editor Divapress, Mbak Rina—dengan pembawaan yang keren, lucu, saya suka lihat sesuatu entah apa namanya yang ada di kepalanya. Saya sampai lupa dia bicara apa aja. Yang paling saya ingat; dia panggil nama saya beberapa kali, walaupun dipake cuma sebagai bahan contoh. Uwuwuw.

Acara dibuka dengan perkenalan panitia dan perkenalan para peserta KF. Dari perkenalan itu saja, saya sudah merasa, akan ada beberapa orang yang hilang, yang terlupakan dan pecah di angkatan KF19 ini. Orang-orang yang sedikit sekali dilibatkan atau yang memang sengaja tidak menampilkan diri. KF19 punya grup WA, tetapi yang aktif hanya sebagian saja. Saya tidak tahu ke mana yang lain.

Kampus Fiksi menyediakan fasilitas yang sangat lengkap. Tempat tidur, AC, kamar mandi dalam, ruangan bersih yang nyaman, makanan dan minuman yang enak, mesin bubut, mikroskop, kaca bejana, kompressor, pahat, gergaji besi, gerinda, bor tangan, kunci T, lengkaplah! Dan gratis.

Singkatnya, KF membuat hidupmu enak. Dan pemerintah sepertinya tidak tahu hal ini.

Saya salut sama orang-orang yang rela menguras hati dan mengurus acara ini. Lebih banyak hal yang dikeluarkan tapi lebih sedikit yang mereka dapat. Tiga hari bukan waktu yang lama. Tapi, hal-hal yang dipersiapkan selama itu sedikit banyak membuat lelah juga. Salah satunya Mas Kiki--orang yang antar jemput peserta KF selama di Jogja, tiap pagi, dengan wajah yang masih ngantuk, sudah sibuk menyiapkan sarapan. Kadang, orang-orang tulus seperti mereka ini justru dikecewakan oleh orang-orang yang paling mereka sayang.

28 Januari, pagi hari. “Jangan jadikan menulis sebagai profesi utama,” kata Pak Edi santai, “kecuali kamu Tere Liye. Wong, Tere Liye aja bekerja sebagai akuntan, kan?”

Yang saya tangkap sebagai pria yang mengonsumsi banyak micin adalah menulis duitnya kecil. Dan saya sadar itu sejak tulisan-tulisan saya tidak pernah dimuat di media. Pernah, sih, dimuat di media online, tapi beberapa hari kemudian tulisan saya dihapus.

Selebtwit macam apa yang tulisannya terbit lalu kemudian diapus, Mbak Ayun?

Pak Edi bercerita hal-hal pahit di dunia menulis. Tentang keprihatinannya sama penulis, tentang seorang penyair menjual buku puisinya yang rela nombok ongkir dan rugi. Haruskah penyair kita ini didaftarkan seminar Tung Desem Waringin, Dewa Eka Prayoga atau Subiakto tentang marketting, branding dan lain-lain dan lain-lain?

Banyak yang beranggapan mencari duit lewat menulis adalah hal yang menyedihkan. Padahal, menurut saya pribadi, mencari duit lewat manapun adalah hal yang paling mudah. Memiliki dan mempertahankannya yang sulit. Ini ngomongin kekasih, ternyata. Maaf-maaf.

Pembawaan Pak Edi benar-benar tenang. Adem. Teduh. Tapi, menjungkirbalikkan mindset orang-orang yang mau sok jadi penulis terkenal, sedang abai sama proses. Untuk menjadi yang kita mau, memang melewati jalan yang tidak kita mau. Itu bukan kata saya, pastinya.

Sesi selanjutnya, mengenai teknik menulis disampaikan oleh Reza Nufa. Saya tidak akan panjang lebar membahas mengenai teori menulis. Karena jika saya ikut menulis materi menulis, teman saya Bene, tidak ada bahan untuk mengisi blognya. Baca tulisan Bene tentang teknik dan ide menulis di sini.

Banyak hal menarik dalam diri Reza Nufa. Saya suka cerita-cerita dia. Tentang pengalamannya berjalan kaki dari Ciputat ke Rinjani. Dia orang baik dan peduli sama perasaan manusia. Anjing, juga. Tapi, tulisannya sering melankolis.

Acara selanjutnya membahas tentang editing. Di sesi ini, saya sadar, saya ternyata tidak tahu apa-apa soal menulis. Ada banyak nama, ketentuan-ketentuan dalam menulis yang asing di kepala dan saya abaikan. Materi editing disampaikan oleh Mbak Muhajjah Saratini. Pembawaannya lucu. Seperti pengisi suara kartun Doraemon, Shincan sampai Keluarga Somad. Lebih jelas tentang teknik editing, baca saja di blog Bene. Di sini.

Oh, maaf. Ternyata belum ditulis Bene, sodara-sodara...

Kampus Fiksi memberi materi yang lengkap dan detail. Tentang redaksi, tentang marketting yang disampaikan Mas Aconk, tentang sastra yang disampaikan Mas Eko Triono dan sharing bersama alumni KF yang sudah memiliki buku, Mas Gin Teguh.

Yang saya ingat dari Mas Gin ini adalah ketika dia tanya buku apa yang terakhir kali dibaca? Dale Carnegie, How To Win Friends and Influence People. Jawab saya.

Buku apa itu?

Non Fiksi. Psikolog.

Ah, nggak tau.

Jujur, saya tidak rajin membaca seperti Mas Gin Teguh. Saya jarang sekali merekomendasikan buku kepada seseorang. Tapi, kali ini saya ingin Mas Gin baca satu bab saja di buku ini. Kalau tidak ada manfaatnya, seperti yang dibilang Dale Carnegie. Kalau tidak ada manfaatnya, silakan buang buku ini ke tong sampah!

Banyak hal-hal yang ingin saya tulis tapi saya bingung. Karena hal-hal itu acak, kusut, dan saya terlalu malas mengurainya. Hal-hal itu seperti asap rokok yang hilang saat digenggam.

Di KF, saya lebih banyak memerhatikan ketimbang mencatat. Sesekali saya berbicara dengan orang yang duduk di sebelah saya. Apa? Oke. Berkali-kali saya berbicara dengan orang yang duduk di sebelah saya. Kami menebak orang-orang yang aktif di forum, orang-orang yang suka bertanya, orang-orang  yang suka memegang microphone atau mentertawakan kekonyolan-kekonyolan dan lain-lain dan lain-lain.

Malam, 28 Januari yang ramai. Kami—para peserta diberi kesempatan untuk mengunjungi Malioboro. Sayangnya, beberapa peserta terbagi-bagi dan kami saling berpisah. Saya dan dua teman laki-laki bergabung dengan empat editor Divapress yang benar-benar menyenangkan, sehingga sebagai rasa terima kasih, ada baiknya saya mengenalkan mereka sesuai dengan yang saya tahu. Sesuai dengan yang saya rasakan selama mengobrol beberapa jam dengan mereka.

1. Mbak Ayun
Qurotul Ayun. Ini mentor nulis saya. Dia bilang logika cerita yang saya tulis tidak logis. Ada bagian cerita yang masih menyisakan pertanyaan yang belum terjawab dalam cerita tersebut. Saya menerima dengan lapang dada. Tidak melawan. Dan tidak memberi tahu beliau, bahwa naskah cerita yang dia baca atau yang dia print, ada bagian yang hilang. Mungkin terlewat saat di-print atau memang kesalahan saya waktu memindahkan file naskah. Mbak Ayun orang baik. Dia mengkritik dengan cara yang ramah. Saya tidak tahu dia sudah punya pacar atau belum. Yang pasti, jangan lupa ajak dia bisnis investasi. Investasi reksadana atau emas atau apa aja. Inget, bisnis investasi bukan bisnis yang punya slogan 'biarkan uang bekerja untuk Anda'. Soalnya, beliau ini suka jalan-jalan. Dia suka ke luar negeri. Ini mentor kece sejak dari USG!

2. Mbak Tiw
Utami Pratiwi. Saya kaget waktu pertama denger suaranya. Jawa banget. Lembut. Mbak Tiwi juga ramah. Saya lihat dia punya banyak cara buat bahagia. Lucu. Wajah yang dipasang wajah ketawa mulu. Teman saya pernah bilang; jadilah perempuan yang bahagia. Biar tidak nuntut dibahagiakan pasangan. Mbak Tiwi sepertinya sudah menjadi perempuan seperti itu. Tapi, ya, gitu. Belum ada pasangan.

3. Mbak Rina
Nisrina Lubis. Seperti yang saya bilang sebelumnya, saya suka dengan sesuatu yang dipakai di kepalanya, yang tidak saya tahu namanya. Mbak Rina tidak terlalu ‘berisik’ seperti yang lain. Pembawaan dirinya terkesan agak tegas, sehingga, mungkin, bagi orang-orang yang baru pertama kali melihatnya menyangka bahwa ia pribadi yang sombong dan dingin. Tapi, itu sama sekali tidak betul menurut apa yang saya rasakan. Mbak Rina ini ternyata uwuwuw. Celetukannya seringkali lebih lucu dari yang lainnya. Dan ternyata orang ini berjasa di balik twit-twit lucu Mbak Ve. Terakhir, jangan lupa ajak sepedaan!

4. Sudah

Yang Lebih Berbisa dari Ular

29 Januari pada malam yang sunyi dan dingin sekali. KF19 ditutup. Acara tiga hari itu berakhir.

Saya sedih entah dengan alasan apa. Saya tidak pernah siap dengan sesuatu yang berakhir. Tidak pernah tahu apa yang mesti dipersiapkan sebelum semua berakhir. Dan tidak tahu apa yang harus dilakukan setelah perpisahan benar-benar terjadi.

Tiga hari adalah waktu yang sangat pendek, tapi brengseknya itu cukup menciptakan kenangan yang panjang dan tidak selesai-selesai. Setelah acara berakhir, kita sama-sama sibuk foto aneh, alay, dan ketawa-tawa. Bahagia saya karena Pak Edi yang menerima diajak foto teman-teman dengan gaya tidak jelas. Enam belas tahun saya tidak merasakan sosok ayah. Dan hal itu saya dapatkan kembali. Tentu saja, maksud saya bukan minta Pak Edi jadi ayah saya. Saya takut sama Dek Gara.

Beberapa menit kemudian, satu persatu peserta pamit pulang. Beberapa peserta yang pamit pulang malam itu adalah orang-orang yang berpeluang besar tidak bisa saya temui lagi. Saya tidak tahu kapan kembali ke Jogja lagi. Kota yang ditertawakan jika diingat bersama-sama, tapi bikin sedih jika diingat sendirian.

Saya sangat bahagia bisa jadi bagian dari keluarga ini. Keramaian yang terjadi selama itu sama sekali tidak membosankan. Sampai di rumah, saya ingin menceritakan hal-hal menyenangkan ini. Tapi, itu urung saya lakukan. Biar saya saja yang rasakan. Saya tahu, orang-orang tidak akan benar-benar mengerti mengenai semua ini; kenapa saya mau berjalan jauh sendirian dan menghabiskan uang untuk sesuatu yang singkat.

Saya juga tidak tahu.

Saya minta maaf jika sampai hari ini belum bisa menulis sesuatu yang seharusnya lebih baik setelah saya ikut Kampus Fiksi. Saya juga minta maaf dengan sikap atau kata-kata yang tidak menyenangkan selama acara tersebut.

Bagian ini adalah bagian yang paling sedih untuk ditulis karena saat ini saya hanya mengenangnya sendirian. Jadi, lebih baik kembali menyelesaikan poin ke empat di atas yang sengaja terlewat.

4. Mbak Ve
Avifah Ve. Saya suka ketawa-ketawa sendiri kalau baca timeline twitter-nya, Di mobil, Mbak Ve lebih aktif bicara. Saya tidak tahu dia habis makan dan minum apa waktu itu. Di mobil, seringkali dia mencoba melucu. Seringkali lucu, berkali-kali tidak. Tapi, mungkin kalau tidak ada dia, suasana akan sangat sepi. Terasa kering dan kurang. Mbak Ve seringkali membuka pembahasan yang seru. Jadi, kami atau hanya saya, tiba-tiba merasa senang tanpa alasan yang jelas. Saya tidak tahu, apakah Mbak Ve merasa kesepian saat-saat sendiri? Do'a saya untuk dia selalu bahagia. Ohya, saya baru tahu kalau perempuan satu ini suka lihat pria berotot yang tidak pakai baju.

Di internet.

Catatan saya kok jadi acak dan tidak jelas begini, ya. Di mana dan apa yang sudah dilakukan Pemerintah saat ini? Saat saya sedang kangen-kangennya...

9 komentar:

Terimakasih udah ngeluangin waktunya buat baca ini. Sebelum pergi, baiknya tinggalkan jejak. Jejak untuk dikenang. Dikenang keindahannya. Jadilah tak terlupakan. Silakan coret kalimat di kolom komentar. :)

Perjumpaan Bisa Sebahaya Ini (Kampus Fiksi)

13:02 Unknown 6 Comments



Sesaat Sebelum Berangkat

Saya tidak menyangka bahwa perjumpaan bisa sebahaya ini. Rabu, 25 Januari, saya berangkat ke Jogja untuk yang kedua kalinya. Jogja yang saya kunjungi pertama kali seharusnya membuat saya kapok. Tapi, saya malah kembali lagi ke sana—ke Jogja, menjadi peserta acara Kampus Fiksi; pelatihan nulis GRATIS selama tiga hari yang diadakan Penerbit Divapress.

Sebelum bis datang, di ruang tunggu, saya bicara dengan beberapa orang. Salah satunya, bapak gemuk dengan kaos warna hitam pudar bertuliskan bahasa inggris, celana pendek coklat dengan dua saku di kanan kiri dan hape samsung galaxy note di jari-jari gemuknya.

Dia pernah menjadi TKI ilegal di Malaysia selama beberapa tahun pada zaman Pak Harto. Pengalaman-pengalamannya lumayan seru. Cerita yang paling saya ingat; leher bagian belakang temannya tertancap paku tetapi tidak meninggal. Dia juga menyarankan agar saya menjadi TKI di Korea. Wajah saya cocok buat ngedarin krim pemutih, katanya.

Mending saya kerja ngelem teh aja, Pak. Jawab saya. Dia tidak ketawa. Rupanya tidak tahu mengenai pekerjaan sampingan ngelem teh.

Hal-hal yang Terjadi di Perjalanan

Jogja sudah berasa sekali saat saya duduk di bangku bis. Orang-orang ngobrol dengan bahasa Jawa. Layar tv memutar video lawakan bahasa Jawa. Baru duduk di dalam bis, saya sudah kangen sama mamak, hal yang menyenangkan, hal-hal lucu, seru, tapi kadang bikin linu kepala dan itu semua ada di rumah.

Perjalanan baik-baik saja sampai pada dua jam sebelum memasuki pelabuhan. Bis yang kami tumpangi dikejar pengendara motor. Awalnya hanya satu motor, lama-lama tambah satu lagi, tambah satu lagi, tambah dua, dan mereka semua teriak-teriak agar bis kami berhenti. Saya lihat penumpang bis yang tadinya tidur, mendadak bangun, yang tadinya nyender mendadak tegang.

Bis berhenti.

Beberapa penumpang berdiri dan melongok ke jendela kaca ingin tahu apa yang terjadi. Saya juga ikut berdiri, berjalan ke belakang bis, ke arah toilet. Kebelet kencing. Percaya sama saya, kencing di bis sama sekali tidak uwuwuw. Apalagi saat bis sedang jalan. Apalagi jalan di jalan rusak. Apalagi yang bisa kulakukan agar kau mencintaiku?

Mengenai bis yang diberhentikan pengendara motor ini, saya sudah tahu dan biasa aja. Saya pernah mengalami hal receh kerincing-kerincing ini sebelumnya. Alurnya begini; pengendara motor (yang tinggal di daerah itu) merasa diserempet bis – pengendara motor menghentikan bis – penyelesaian kasus atau ganti rugi atau nego atau dompet – mobil dibolehkan jalan kembali.

Tapi, kali ini suasananya beda. Lebih tegang ternyata. Sopir bis yang kami cintai, yang baju pada bagian keteknya basah tidak merasa menyerempet motor. Jadi, antara kru bis, pengendara motor yang merasa diserempet dan pengendara motor yang membantu mengejar bis sama-sama ngotot. Suasana jadi ganas. Jadi panas.

Saya jadi inget Don Vito Corleone pada film The God Father. Beri penawaran yang tidak bisa ditolak, katanya. Pengen minta bantuan beliau nembak peluru ke kepala semua orang yang ribut di samping bis.

Hasil akhir; sopir bis yang kami cintai memberi penawaran yang tidak bisa ditolak. Keren. “Kalo bis saya,” katanya sambil memukul-mukul wajah bis, “kalo bis saya memang nyerempet motor ini, saya pasti sudah berhenti. Saya nggak ngerasa nyerempet kok.”

“Saya bersumpah kalo bis saya tadi nyerempet, NGGAK SELAMAT PERJALANAN SAYA. MATI!”

“Bener kau, ya? Kau ini bawa penumpang. Saksinya semua penumpang ini. Hati-hati kalau ngomong.”

“SUMPAH, PAK! GAK SELAMAT PERJALANAN KAMI!”

Yak! Masalah sepertinya baru dimulai oleh supir bis yang kami cintai ini. Mobil kembali berjalan. Seorang penumpang ibu jawa, saya memanggilnya bude, tanya dengan suara yang pelan sekali; dek, kamu kan tadi ora tidur tho? Jadi tahu. Mobil kita tadi nyerempet ora, ya? Bude kok jadi takut kenapa-kenapa ya. Masalahnya dia k—

Nyerempet. Saya potong bicaranya.

Selanjutnya perjalanan memang tidak baik-baik aja. Ban mobil pecah di jalan tol kawasan Jakarta—saya lupa namanya. Ada penumpang yang meninggal dunia tiba-tiba. Kami tidak bisa tidur karena suara tangisan. Perempuan yang tiba-tiba ikut menangis seperti orang kesurupan. Bapak tua yang ketawa-ketawa sendiri.

Sumpah sopir sepertinya sedang bekerja...

Cerita Orang-orang Baru

Di perjalanan, saya berkenalan dan akrab dengan tiga orang; Bude, Danang dan Randa. Ohya... mengenai penumpang yang meninggal, kesurupan dan bapak tua di bis itu saya bohong.

Saya tidak tanya nama Bude. Dia seorang ibu yang memiliki tiga anak. Salah satunya, ada yang seusia saya. Dan beraknya, semua anaknya itu laki-laki. Bude ini ternyata guru bk SMA negeri di Jogja. Di Lampung, dia mengurus kebon-kebonnya. Dan itu dilakukan sendiri. Saya tidak mau memancing dan bertanya mengenai suaminya. Saya tau, kalau sudah soal kenangan, kadang bakal membuat sedih. Apalagi jika kenangan yang dikenang sendirian. Huhu.

Danang. Mahasiswa UMY semester lima—kalau tidak salah. Sejak SMP dia sudah sekolah di Jogja. Wajar, kalau logatnya sudah Jawa. Dia bilang, Jogja ngangenin. Tapi, pulang ke rumah, ke ibu, kadang jadi mikir kembali; mana yang paling bikin kangen.

Randa. Ini anak sudah dibenturin masalah-masalah pelik. Anak rantau banget. Tempat-tempat di Sumatera sudah banyak yang diinjak dia. Dia pekerja proyek-proyek besar. Di ketinggian berpuluh-puluh meter, harus bisa berjalan di jalan yang lebarnya hanya sebesar satu setengah telapak kaki. Gemeteran, pasti, iya. Di ruang VIP kapal, saya ajak dia keluar lihat laut. Lautnya tenang tapi malah buat ngeri. Dia banyak cerita tentang keluarga dan hidupnya. Selama perjalanan, Randa ini rajin sholat.  Dia cari uang buat keluarga dan adik-adiknya. Rela jarang pulang, rela jarang di rumah. Sebagai pekerja proyek, urusan yang ditemuinya; psk, judi, mabuk-mabukan. Aku cari uang bukan buat tiga itu. Katanya.

Di perjalanan yang saya lewati; papan atau banner iklan yang menunjukkan rumah makan piringsewuh, anak-anak yang minta telolet telolet, bapak-bapak yang dagang tahu asin tapi lupa kasih uang kembalian ke saya, tempat karaoke yang berjejer di wilayah Jawa Barat pada jam tiga dini hari yang di halaman depannya penuh sama mbak-mbak sexy nongkrong dan ngerokok dan lain-lain dan lain-lain.

Saya kadang-kadang berpikir; bagaimana seandainya saya tinggal dan dilahirkan di lingkungan tersebut, lingkungan dekat rel kereta, lingkungan dekat pabrik, lingkungan dekat laut, lingkungan dekat hutan yang sepi, lingkungan pada jam tiga dini hari yang buat pria melek.

Dan saya semakin kangen rumah.

Matahari Jatuh di Giwangan

Saya tiba di Jogja, Giwangan pada jam empat sore. Orang-orang ramah. Menawarkan ojek dengan ramah. Saya tolak dengan ramah. Saya tiba-tiba lupa rumah. Jadi labil.

Seperti yang saya bilang di awal; saya tidak menyangka bahwa perjumpaan bisa sebahaya ini. Ada perasaan yang tidak terdefinisi oleh kata-kata. Kata-kata kadang tidak bisa menjangkau perasaan. Perasaan hanya bisa dipahami perasaan.

Setelah ini saya akan menulis tentang acara Kampus Fiksi, tentang editor-editor kece, tentang twit mbak-mbak yang kok iya bisa lucu-lucu.

Dan tentang kenapa followers twitter saya yang bisa (menurut kamu) sebanyak itu.

Ohya. Sebelum ditutup, saya bertanya kepada pak presiden dan kapolri, siapa yang ngecilin snack momogi dan snack selimut?!!

6 komentar:

Terimakasih udah ngeluangin waktunya buat baca ini. Sebelum pergi, baiknya tinggalkan jejak. Jejak untuk dikenang. Dikenang keindahannya. Jadilah tak terlupakan. Silakan coret kalimat di kolom komentar. :)