Perjumpaan Bisa Sebahaya Ini (Kampus Fiksi)

13:02 Unknown 6 Comments



Sesaat Sebelum Berangkat

Saya tidak menyangka bahwa perjumpaan bisa sebahaya ini. Rabu, 25 Januari, saya berangkat ke Jogja untuk yang kedua kalinya. Jogja yang saya kunjungi pertama kali seharusnya membuat saya kapok. Tapi, saya malah kembali lagi ke sana—ke Jogja, menjadi peserta acara Kampus Fiksi; pelatihan nulis GRATIS selama tiga hari yang diadakan Penerbit Divapress.

Sebelum bis datang, di ruang tunggu, saya bicara dengan beberapa orang. Salah satunya, bapak gemuk dengan kaos warna hitam pudar bertuliskan bahasa inggris, celana pendek coklat dengan dua saku di kanan kiri dan hape samsung galaxy note di jari-jari gemuknya.

Dia pernah menjadi TKI ilegal di Malaysia selama beberapa tahun pada zaman Pak Harto. Pengalaman-pengalamannya lumayan seru. Cerita yang paling saya ingat; leher bagian belakang temannya tertancap paku tetapi tidak meninggal. Dia juga menyarankan agar saya menjadi TKI di Korea. Wajah saya cocok buat ngedarin krim pemutih, katanya.

Mending saya kerja ngelem teh aja, Pak. Jawab saya. Dia tidak ketawa. Rupanya tidak tahu mengenai pekerjaan sampingan ngelem teh.

Hal-hal yang Terjadi di Perjalanan

Jogja sudah berasa sekali saat saya duduk di bangku bis. Orang-orang ngobrol dengan bahasa Jawa. Layar tv memutar video lawakan bahasa Jawa. Baru duduk di dalam bis, saya sudah kangen sama mamak, hal yang menyenangkan, hal-hal lucu, seru, tapi kadang bikin linu kepala dan itu semua ada di rumah.

Perjalanan baik-baik saja sampai pada dua jam sebelum memasuki pelabuhan. Bis yang kami tumpangi dikejar pengendara motor. Awalnya hanya satu motor, lama-lama tambah satu lagi, tambah satu lagi, tambah dua, dan mereka semua teriak-teriak agar bis kami berhenti. Saya lihat penumpang bis yang tadinya tidur, mendadak bangun, yang tadinya nyender mendadak tegang.

Bis berhenti.

Beberapa penumpang berdiri dan melongok ke jendela kaca ingin tahu apa yang terjadi. Saya juga ikut berdiri, berjalan ke belakang bis, ke arah toilet. Kebelet kencing. Percaya sama saya, kencing di bis sama sekali tidak uwuwuw. Apalagi saat bis sedang jalan. Apalagi jalan di jalan rusak. Apalagi yang bisa kulakukan agar kau mencintaiku?

Mengenai bis yang diberhentikan pengendara motor ini, saya sudah tahu dan biasa aja. Saya pernah mengalami hal receh kerincing-kerincing ini sebelumnya. Alurnya begini; pengendara motor (yang tinggal di daerah itu) merasa diserempet bis – pengendara motor menghentikan bis – penyelesaian kasus atau ganti rugi atau nego atau dompet – mobil dibolehkan jalan kembali.

Tapi, kali ini suasananya beda. Lebih tegang ternyata. Sopir bis yang kami cintai, yang baju pada bagian keteknya basah tidak merasa menyerempet motor. Jadi, antara kru bis, pengendara motor yang merasa diserempet dan pengendara motor yang membantu mengejar bis sama-sama ngotot. Suasana jadi ganas. Jadi panas.

Saya jadi inget Don Vito Corleone pada film The God Father. Beri penawaran yang tidak bisa ditolak, katanya. Pengen minta bantuan beliau nembak peluru ke kepala semua orang yang ribut di samping bis.

Hasil akhir; sopir bis yang kami cintai memberi penawaran yang tidak bisa ditolak. Keren. “Kalo bis saya,” katanya sambil memukul-mukul wajah bis, “kalo bis saya memang nyerempet motor ini, saya pasti sudah berhenti. Saya nggak ngerasa nyerempet kok.”

“Saya bersumpah kalo bis saya tadi nyerempet, NGGAK SELAMAT PERJALANAN SAYA. MATI!”

“Bener kau, ya? Kau ini bawa penumpang. Saksinya semua penumpang ini. Hati-hati kalau ngomong.”

“SUMPAH, PAK! GAK SELAMAT PERJALANAN KAMI!”

Yak! Masalah sepertinya baru dimulai oleh supir bis yang kami cintai ini. Mobil kembali berjalan. Seorang penumpang ibu jawa, saya memanggilnya bude, tanya dengan suara yang pelan sekali; dek, kamu kan tadi ora tidur tho? Jadi tahu. Mobil kita tadi nyerempet ora, ya? Bude kok jadi takut kenapa-kenapa ya. Masalahnya dia k—

Nyerempet. Saya potong bicaranya.

Selanjutnya perjalanan memang tidak baik-baik aja. Ban mobil pecah di jalan tol kawasan Jakarta—saya lupa namanya. Ada penumpang yang meninggal dunia tiba-tiba. Kami tidak bisa tidur karena suara tangisan. Perempuan yang tiba-tiba ikut menangis seperti orang kesurupan. Bapak tua yang ketawa-ketawa sendiri.

Sumpah sopir sepertinya sedang bekerja...

Cerita Orang-orang Baru

Di perjalanan, saya berkenalan dan akrab dengan tiga orang; Bude, Danang dan Randa. Ohya... mengenai penumpang yang meninggal, kesurupan dan bapak tua di bis itu saya bohong.

Saya tidak tanya nama Bude. Dia seorang ibu yang memiliki tiga anak. Salah satunya, ada yang seusia saya. Dan beraknya, semua anaknya itu laki-laki. Bude ini ternyata guru bk SMA negeri di Jogja. Di Lampung, dia mengurus kebon-kebonnya. Dan itu dilakukan sendiri. Saya tidak mau memancing dan bertanya mengenai suaminya. Saya tau, kalau sudah soal kenangan, kadang bakal membuat sedih. Apalagi jika kenangan yang dikenang sendirian. Huhu.

Danang. Mahasiswa UMY semester lima—kalau tidak salah. Sejak SMP dia sudah sekolah di Jogja. Wajar, kalau logatnya sudah Jawa. Dia bilang, Jogja ngangenin. Tapi, pulang ke rumah, ke ibu, kadang jadi mikir kembali; mana yang paling bikin kangen.

Randa. Ini anak sudah dibenturin masalah-masalah pelik. Anak rantau banget. Tempat-tempat di Sumatera sudah banyak yang diinjak dia. Dia pekerja proyek-proyek besar. Di ketinggian berpuluh-puluh meter, harus bisa berjalan di jalan yang lebarnya hanya sebesar satu setengah telapak kaki. Gemeteran, pasti, iya. Di ruang VIP kapal, saya ajak dia keluar lihat laut. Lautnya tenang tapi malah buat ngeri. Dia banyak cerita tentang keluarga dan hidupnya. Selama perjalanan, Randa ini rajin sholat.  Dia cari uang buat keluarga dan adik-adiknya. Rela jarang pulang, rela jarang di rumah. Sebagai pekerja proyek, urusan yang ditemuinya; psk, judi, mabuk-mabukan. Aku cari uang bukan buat tiga itu. Katanya.

Di perjalanan yang saya lewati; papan atau banner iklan yang menunjukkan rumah makan piringsewuh, anak-anak yang minta telolet telolet, bapak-bapak yang dagang tahu asin tapi lupa kasih uang kembalian ke saya, tempat karaoke yang berjejer di wilayah Jawa Barat pada jam tiga dini hari yang di halaman depannya penuh sama mbak-mbak sexy nongkrong dan ngerokok dan lain-lain dan lain-lain.

Saya kadang-kadang berpikir; bagaimana seandainya saya tinggal dan dilahirkan di lingkungan tersebut, lingkungan dekat rel kereta, lingkungan dekat pabrik, lingkungan dekat laut, lingkungan dekat hutan yang sepi, lingkungan pada jam tiga dini hari yang buat pria melek.

Dan saya semakin kangen rumah.

Matahari Jatuh di Giwangan

Saya tiba di Jogja, Giwangan pada jam empat sore. Orang-orang ramah. Menawarkan ojek dengan ramah. Saya tolak dengan ramah. Saya tiba-tiba lupa rumah. Jadi labil.

Seperti yang saya bilang di awal; saya tidak menyangka bahwa perjumpaan bisa sebahaya ini. Ada perasaan yang tidak terdefinisi oleh kata-kata. Kata-kata kadang tidak bisa menjangkau perasaan. Perasaan hanya bisa dipahami perasaan.

Setelah ini saya akan menulis tentang acara Kampus Fiksi, tentang editor-editor kece, tentang twit mbak-mbak yang kok iya bisa lucu-lucu.

Dan tentang kenapa followers twitter saya yang bisa (menurut kamu) sebanyak itu.

Ohya. Sebelum ditutup, saya bertanya kepada pak presiden dan kapolri, siapa yang ngecilin snack momogi dan snack selimut?!!

6 comments:

  1. Makin suka baca tulisan kamu mas

    ReplyDelete
    Replies
    1. typo? hapus kata 'baca tulisan'. terima kasih. :)

      Delete
  2. ...penuh sama mbak-mbak sexy nongkrong dan ngerokok <<< fix, kamu beneran pemerhati mbak-mbak, pantesan sampe ditulis di bio.

    ReplyDelete
    Replies
    1. biarin! yang penting mbak ayun mentor dan editor kece! uwuwuwuw.

      Delete
  3. Perpisahan juga berbahaya sekali, ya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya. kamu memang yang paling bisa merasakan tulisan ini. makasih...

      Delete

Terimakasih udah ngeluangin waktunya buat baca ini. Sebelum pergi, baiknya tinggalkan jejak. Jejak untuk dikenang. Dikenang keindahannya. Jadilah tak terlupakan. Silakan coret kalimat di kolom komentar. :)