Cerpen Bahasa Indonesia; Seba(l)iknya?

22:25 Unknown 9 Comments

foto by splash.imgix.net/



“Sebaiknya kita berpisah.”

“Baik? Perpisahan bukan hal baik, Fan.”

“Buat aku dan kamu itu adalah hal baik. Gak ada cara lain, Len…” Fani menyeka air mata yang sudah banjir di pipinya. Melepaskan genggaman tangan Falen. “Maafkan aku, Len. Selamat tinggal.”

“Aku tidak akan selamat, Fan.”

*

Falen menceritakan kejadian dua tahun yang lalu itu kepadaku. Ketika ia berpisah dengan pacarnya. Waktu itu ia belum kaya seperti sekarang, sehingga ia tak punya keyakinan untuk menikahinya. Fani dijodohkan ayahnya untuk menikah dengan orang lain.

Sekarang, saya yang berada di posisinya dua tahun yang lalu.

“Kejarlah dia. Jangan biarkan perpisahan itu terjadi. Itu sangat menyakitkan.”

“Sudah terlambat. Dia bilang ini yang terbaik.”

“Fani juga bilang begitu, dan kamu tahu, dia tidak jadi menikah. Dia bunuh diri.”


Mengikuti tantangan #KampusFiksi tema #FiksiLaguku 123 kata. Pas. Terinspirasi dari lagu Rhoma Irama - Begadang.

9 komentar:

Terimakasih udah ngeluangin waktunya buat baca ini. Sebelum pergi, baiknya tinggalkan jejak. Jejak untuk dikenang. Dikenang keindahannya. Jadilah tak terlupakan. Silakan coret kalimat di kolom komentar. :)

Yang Membuat Mati Sebelum Mati

07:54 Unknown 8 Comments

From Google


Ini cerpen saya yang lolos #kampusfiksi angkatan 19 th.2015-2017. Semoga kekhilafan panitia ini tidak mereka sadari. Lah.

Happy Reading!! Saya sangat berterimakasih kalo diberi komentar. Terimakasih. *Eh, kan belum dikomentarin, ya*



Yang Membuat Mati Sebelum Mati

Malam ini saya menyalakan laptop dan menulis cerita yang tak akan pernah dilupakan pembacanya. Sepanjang hidup.

Saya menjamin.

*

Rambutnya terjurai hampir melebihi bahu, selalu memakai baju lengan panjang. Jurusan hukum. Seluruh mahasiswa dan mahasiswi di kampus itu pasti mengenalnya.

Dia sahabat saya yang sebelumnya dipuji karena kejeniusannya; IP tertinggi seangkatannya, sehari bisa mengkhatamkan lebih dari sepuluh buku, dan bisa menceritakan kembali isi buku tersebut. Tidak hanya itu, jika kamu bermimpi atau memiliki pengalaman yang tidak ingin kamu lupakan, ceritakan saja kepadanya. Ia bisa menyimpan dan mengingatnya sampai berakhirnya hitungan hari. Tapi.

“Gara-gara dosen pembimbing “Singa” itu, dia jadi putus asa. Kabarnya, dia sudah di-DO karena skripsinya selalu gagal. Mungkin kejeniusannya sudah diambil Tuhan. Kasihan.” komentar teman satu jurusannya.

Kasihan? Sebenarnya tak ada pengaruh meskipun dia di-DO. Ia memiliki bisnis yang menjamin hidupnya sampai usia renta.

Saya tak sengaja mendengar komentar itu, ketika ingin mendebatnya, rasanya tidak perlu, karena tidak ada gunanya. Saya tahu benar, sahabat saya itu tidak mungkin putus asa atau kejeniusannya sudah kadaluarsa. Ada sesuatu hal yang membuatnya berhenti melakukan apapun. Sesuatu yang tak bisa dijabarkan oleh orang jenius manapun. Sesuatu yang membuatnya mati sebelum mati.

Cinta. Ya, tidak salah lagi.

Malam itu ia pergi ke toko buku, tempatnya di bawah kafe. Ia senang sekali membeli buku di sana, setelah itu membawanya ke atas untuk ia baca sambil minum kopi tanpa gula.

“Terbiasa minum yang pahit, agar saat kepahitan hidup datang, sudah terbiasa. Mengerti kamu?” Ayahnya menjelaskan.

Ia ingat betul perkataan itu bertahun-tahun yang lalu, saat ia duduk di kelas satu SMP, sebelum ayahnya meninggal. Dan semenjak itu, ia suka minum kopi tanpa gula meski awalnya muntah. Tapi lama-kelamaan ia terbiasa. Ia mencintai ayahnya, oleh sebab itu ia patuh pada ayahnya. Berbeda hal dengan ibunya, yang suka teh hangat di pagi dan sore hari.

Ia juga mencintai buku. Menurutnya, dengan membaca buku, ia bisa melakukan perjalanan jauh hanya dengan berdiam diri. Tapi tidak untuk malam itu. Ia bertemu dengan perempuan yang paling dia benci.

“Enggak apa-apa kan duduk di sini?” ucap perempuan itu, mengambil tempat duduk di depan sahabat saya agar semeja.

“Kalo duduk, gak apa-apa,” perempuan itu tersenyum, “tapi kalo duduk di sini, dekat saya, itu yang jadi apa-apa,” tambah sahabat saya ketus.

Senyum perempuan itu berganti kelu. Ia mengerutkan keningnya.

“Maksudnya?”

“Cari tempat lain.”

“Sampai kapan kamu marah sama Ibu, Nak?”

“Saya enggak marah sama Ibu. Saya enggak punya Ibu.”

“Nak…” Mata bening itu menatapnya lekat, ingin didengarkan. Tapi sahabat saya seperti tak memiliki telinga, tetap hidup di dalam buku atau sudah melakukan perjalanan yang jauh—mungkin melewati bumi. Anak itu sudah lupa berterimakasih pada sosok yang memberi kasih. “Sekuat tenaga Ibu mengembalikan kesadaran. Bertahun-tahun bertahan di rumah sakit jiwa karena dianggap gila. Dipenjara. Maafin Ibu, Nak. Sekarang Ibu sudah sadar,” Ibu menjelaskan. Perlahan air mata membelah pipi tomatnya.

Tapi sahabat saya itu malah beranjak dari kursi. Mulai risih.

“Nak…apa yang bisa Ibu lakukan untuk menebus semua kesalahan Ibu?” Ibu menahan tangannya. Mencegah sahabat saya untuk tidak pergi.

“Pergi dari hidup saya. Hanya itu,” kata sahabat saya pelan. “Kesedihan, kekacauan, kehilangan, olok-olok dari orang-orang saat saya kecil. Cukup itu saja yang pernah saya terima. Jangan kasih apa-apa lagi.” Sahabat saya itu melepaskan genggaman tangan ibunya kemudian pergi.

*

Selama beberapa bulan sahabat saya itu tidak pernah (mau) bertemu Ibunya lagi. Menurutnya; istri yang membunuh suami, mencoba bunuh diri karena ingin dicerai dan ditinggal menikah suaminya, bukan lagi disebut ibu apalagi diberi iba. Karena, ia sudah membuat aib untuk kehidupan anaknya.

Waktu itu—sebelum di-DO, ia mencoba membuat skripsi lagi. Ya, di kafe atas toko buku itu lagi. Seperti biasa, sebelum naik ke atas, ia membeli buku terlebih dahulu. Saat ingin membayar, tanpa sengaja ia bertemu seseorang yang keinginannya sama; membeli buku, membawanya ke atas dan mengerjakan skripsi. Tapi, buku yang tidak ada hubungannya dengan skripsi; Buku Novel. Lantas, mereka berdua berkenalan, tertawa dengan kekonyolan itu dan asik mengobrol sampai lupa dengan skripsinya masing-masing.

“Sejak kapan suka novel?” tanya Arin sembari tersenyum. Ia tampak duduk rapih seperti murid SD. Malam itu ia memakai kaos putih dibalut jaket abu-abu dengan rambut ikat kuda.

“Sejak…enggak tahu pasti. Yang pasti, sampai kapanpun, suka.”

“Berarti, udah lama banget. Kenapa gak nulis novel?”

“Saya jurusan hukum. Mana mung…Saya tertarik nulis novel. Saya coba.”

*

Setelah pertemuan pertama itu, terciptalah pertemuan kedua-ketiga, dan lebih dari itu tanpa pernah dihitung. Nonton bioskop, jalan-jalan ke pantai, santai di kafe sambil membaca buku yang sama, kemudian di-review bersama. Semakin dekat, semakin melekat. Lagi-lagi sahabat saya itu menggeser skripsinya demi kepentingan lain; menulis novel. Dan Arin, menjadi pembaca pertama. Pertama dalam apapun.

Pasti karena cinta. Entahlah.

Setelah hampir setahun, akhirnya novel itu jadi. Novel bergenre romance dan lolos dalam novel terbaik versi Arin.

Kalo tidak salah, hari sabtu novel itu terbit. Malamnya, mereka berjanjian untuk bertemu di kafe, tempat biasa. Penampilan sahabat saya malam itu tidak banyak berubah kecuali kacamata. Ya, dia memakai kacamata.

Suara pintu diketuk.

“Kapan bisa memenuhi permintaan saya?” Sahabat saya langsung menanyakan itu ketika membuka pintu, yang ia lihat adalah ibunya.

“Ibu minta maaf, Nak,” tanpa pikir panjang, sahabat saya menutup pintu, tapi lagi-lagi tangan lembut pembunuh itu menahannya. “Ibu akan pergi ke Singapur. Malam ini.”

Sahabat saya lumpuh sejenak. Tidak mengatakan apa-apa. Kakinya seperti dipaku, menancap ke lantai. Hanya memandangi kepergian ibunya dengan koper besar.

*

Pada pertemuan malam itu dengan Arin, ia masih memikirkan kepergian ibunya. Mungkin kali ini hatinya terenyuh. Melihat wajah ibunya pucat, seperti pertama kali ingin bunuh diri.

“Kamu kenapa? Ada yang salah?” tanya Arin yang menyadari keanehan itu.

“Mm… enggak.”

“Aku bangga deh sama kamu, enggak terasa udah satu tahun lebih kita kenal. Kamu sekarang udah nerbitin satu buku. Tambah keren,” puji Arin dengan senyum berseri-seri. Sahabat saya berterimakasih.

“Bukan satu, tapi dua,” Sahabat saya menyerahkan buku yang tak pernah dibaca siapapun kecuali dirinya. Arin mencoba menyatukan kedua alisnya. “Buku itu cuma ada satu di dunia ini, dan itu untuk kamu,” lanjutnya.

Sebenarnya “buku” yang dikatakan sahabat saya itu adalah analogi dari “hati”. Karena di bagian pertama dalam buku itu tertulis;

I love you. Will you marry me, Arin?

Arin mengamati buku itu, merabanya, sesekali terlihat tersenyum. Saat ingin membuka, handphone-nya menyala. Ibunya menelpon.

“Iya… aku pulang sekarang, Ma,” jawab Arin setelah itu menutupnya.

“Kamu mau pulang? Saya antar.”

“Makasih. Aku pulang sendiri aja. Aku juga bawa mobil. Maaf, ya...akhir-akhir ini Mama memang suka khawatir,” Arin menjelaskan, “oh, iya. Saya juga punya sesuatu buat kamu,” Arin mengambil sesuatu dari tasnya. “Dateng, ya…” ucapnya kemudian pamit pulang.

Giliran sahabat saya yang tak bisa apa-apa menerima itu. Tiba-tiba tubuhnya bergetar, lemah. Napasnya sesak, padahal banyak udara yang bisa dihirup. Sesuatu itu, surat undangan pernikahan Arin.
Seketika dia menyadari, dia telah jatuh cinta kepada seseorang, seseorang yang mencintai orang lain. Setahun lebih ia biarkan rasa itu, hingga sekarang membuatnya terasa binasa hanya dengan sepejam.
“Ibu minta maaf, Nak…”

Hanya suara itu yang ia dengar. Ucapan beberapa menit yang lalu. Ia paham, bagaimana perasaan ibunya waktu itu. Ia paham, kenapa ibunya membunuh dan mencoba bunuh diri ketika ingin dicerai dan ditinggal menikah lagi. Seperti halnya dia, yang merasa telah mati sebelum mati. Yang ingin mati.

Dengan tergesa-gesa, sahabat saya itu keluar dari kafe, dan tahu apa yang harus dilakukannya; menjemput ibunya dan meminta maaf.

*

Baru setelah kejadian-kejadian di atas, sahabat saya yang jenius itu di-DO dari kampus. Ia patah hati sepatah-patahnya. Tapi untungnya ia sempat menahan kepergian ibunya. Mereka berdua sudah tinggal serumah dan berhubungan baik lagi.

Tapi rasa frustasi dan patah hati tidak tinggal diam untuk hal itu. Perasaan buruk selalu mengamini kejadian buruk terjadi. Dan benar, apa yang dirasakan sahabat saya itu menarik kejadian buruk terjadi padanya.

Tepat pada hari Rabu, ia terlihat berbeda. Teh hangat buatan ibunya masih setengah, biasanya dihabiskan. Mungkin rasa frustasi sudah mengalami puncaknya. Malam itu ia pergi dengan mobilnya dan beberapa saat kemudian dikabarkan meninggal dunia karena mobil yang dikemudinya tertabrak kereta api.

Polisi mengatakan itu murni kecelakaan. Masyarakat beranggapan ada makhluk gaib yang menahan mobil itu dan ia tak bisa keluar. Tapi aku tahu benar, itu murni kesengajaannya.

*

Akhirnya cerita yang saya tulis sudah selesai. Saya menutup laptop kemudian beranjak dari kursi.

“Mau ke mana, Dimas?” tanya Ibu.

“Cari udara diluar, Bu. Gerah,” jawab saya ramah.

“Tapi, tehnya belum dihabiskan?”

“Cuma sebentar. Oh, iya, Bu, ini hari Rabu, kan?” tanya saya memastikan kemudian mengambil kunci mobil yang tergeletak di meja.

“Iya, ini hari Rabu. Kenapa?”

Saya menjawabnya dengan tersenyum lalu melihat jam.

Dua puluh menit lagi, kereta itu akan lewat. Saya punya cukup waktu untuk tiba di sana.





8 komentar:

Terimakasih udah ngeluangin waktunya buat baca ini. Sebelum pergi, baiknya tinggalkan jejak. Jejak untuk dikenang. Dikenang keindahannya. Jadilah tak terlupakan. Silakan coret kalimat di kolom komentar. :)