Sebelum Menggunting Rambut Ibu

19:20 Unknown 0 Comments



Sore itu, di depan cermin berukuran kira-kira 60cmx80cm ada wajah perempuan yang saya kenal betul. Lengan kiri memegang sisir dan gunting berada di lengan kanan. Sebagai anak yang pernah belajar PPKN di sekolah dasar dan di madrasah (walaupun guru ppkn itu masuk cuma ngasih tugas lalu muncul kembali dari laci meja saat bel pulang sekolah), saya tahu apa yang mesti dilakukan.

“Yakin bisa?” tanya ibu saya.

Sedari kecil saya perhatikan, ibu saya jarang sekali menggunting rambut di salon-salon pasar atau salon-salon banci di tikungan gang. Menggunting rambut bagi ibu saya adalah pekerjaan yang bisa dilakukan sendiri. Hasilnya; menurut saya tentu cantik. Tidak tahu kalo yang menilai Ivan Gunawan.

“Bisa.” jawab saya yakin. Gunting beralih ke tangan saya.

Sebelum menawarkan diri untuk menggunting rambut ibu, saya punya beberapa pengalaman yang cukup mampu membuat saya yakin kalau menggunting rambut adalah hal yang bisa saya lakukan meskipun sebelumnya tidak pernah.

Saat SD, pengalaman menggunting rambut saya dapatkan dari saudara saya. Kala itu, kalau boleh jujur, dia adalah tamu yang cukup mengerikan buat saya. Bagaimana tidak, setiap dia bertamu, pasti akan terjadi proses menggunting rambut; hal yang tidak saya sukai.

Setelah selesai dicukur saya selalu bercermin, dan di sana; saya temukan diri saya menjadi korban. Tapi, saya tidak menangis. Setidaknya bisa menahan itu sampai saudara saya pulang. Anehnya, setelah selesai dicukur dan sebelum saudara saya yang baik perangainya itu pulang, saya selalu diberi uang jajan. Lalu kesedihan saya selesai. Hmm, untuk mendapatkan sesuatu memang selalu ada ‘harga’ yang mesti dibayar, saudaraku. Entah itu uang atau lainnya.

Saya  masih menyimpan foto itu; di usia SD, saya dengan style rambut bayi. Maaf, tidak untuk dikonsumsi publik. Jadi, tidak saya upload, ya. Saudara saya itu telah mengajarkan kepada saya bagaimana mencukur rambut agar tumbuh kembalinya lama. LAMA SEKALI. Terima kasih, saudaraku.

Saat Mts atau madrasah, saya dikenalkan dengan namanya razia rambut. Proses mencukur rambut oleh guru kala itu tidak kalah mengerikan. Kalau kamu terjaring razia, hasil akhir rambut kepala kamu tidak lain adalah botak. Dan botak, tidak lain adalah sapaan baru di sekolah. Sapaan yang membuat hatimu nyeri dan kamu bakal mengalami itu minimal dua minggu. Guru itu mengajarkan kepada saya; mencukur rambut semestinya dilakukan dengan tenang, tanpa dendam dan tidak bisa salah. Jika salah, bakal ada sesuatu yang tidak bisa diulang. Sesuatu yang tidak bisa diulang seringkali menyakitkan.

Sewaktu SMA, saya kebanyakan lolos dari razia. Entah karena rambut saya memenuhi kriteria atau karena saya selalu tidak ada saat razia berlangsung atau berhasil melarikan diri. Satu dua kali pernah terjaring razia, tidak menarik untuk diceritakan kembali. Tapi tenang saja, di tingkat ini, pendidikan mengenai mencukur, saya pelajari dengan cara merapihkan rambut teman saya. Dengan silet. Ya, silet. Hasilnya; hmm… ada luka-lukanya. Tapi, kan...

Pengalaman saya mengenai menggunting rambut tidak berhenti di situ saja. Saya pernah teleportasi; berpindah ke suatu tempat dengan cara rahasia. Sekedip mata saja, saya sudah berada di Spanyol (tentu saja ini bohong). Di sana, saya belajar dengan Pakde Almando, belio ini mencukur rambut dengan senjata orang-orang Jepang. Ya, dua samurai. Pakde Almando ini mengajarkan kepada kita bahwa hidup tak boleh terlalu kaku. Di tangannya, samurai bisa menjadi alat cukur. Barangkali guru-guru sekolah bisa meniru ini?

Pakde Almando sedang mencukur mbak maimun

Setelah ke Spanyol, dan saya tidak menemukan ale-ale di sana, padahal tembolok serasa kering, akhirnya saya teleportasi lagi ke China. Di China, kamu bisa menemui Wang Xiayou—kang cukur rambut dengan gaya kungfu. Belio ini mencukur rambut dengan posisi terbalik; kaki di atas, kepala di bawah, hati disakiti. Mencukur rambut dan seni bela diri adalah komposisi yang indah, bagi Wang Xiayou.

Wang Xiayou--bajunya belum ada yang kering

Dengan pengetahuan itulah, saya mulai menggunting rambut ibu saya. Selama proses menggunting rambut, saya mengelilingi ibu saya; dari depan, pindah ke belakang, ke samping kanan, ke samping kiri. Begitu terus. Ternyata saya benar-benar berbakat dalam hal ini.

“Kok dari tadi nggak pake sisir?” tanya ibu saya.

Saya diam. Wajah saya sudah penuh keringat.

Di depan cermin itu, ibu saya diam melihat hasil rambutnya dan saya cepat-cepat pamit untuk mandi saja.

0 komentar:

Terimakasih udah ngeluangin waktunya buat baca ini. Sebelum pergi, baiknya tinggalkan jejak. Jejak untuk dikenang. Dikenang keindahannya. Jadilah tak terlupakan. Silakan coret kalimat di kolom komentar. :)