Penghulu Gay

23:45 Unknown 5 Comments




Aku seorang penghulu yang sudah pensiun. Sekarang, umurku setara dengan umur Indonesia. Sudah lebih seratus orang kunikahi, tapi aku…

…sebaliknya, belum juga menikah. Ironis? Ya. Bagi orang lain, tidak untukku. Sebab, aku percaya orang lain tak akan benar-benar tahu apa-apa mengenai siapa-siapa. Termasuk aku dan segala yang kurasa. Beberapa orang seringkali mencoba menjodohkan aku dengan seseorang, mungkin temannya, tetangganya atau entah; Jeri, Gunawan, Roy, Iwan dan Eli, lengkapnya Eli Eboy.

Sampai sini, apakah kalian tertawa?

Benar, mereka semua laki-laki. Entah siapa yang gila. Aku punya alasan sederhana kenapa belum juga menikah; menunggunya mencintaiku. Serumit itu.

Hari ini, seseorang laki-laki berumur 24 tahun mendatangiku dengan membawa sembako yang lebih dari cukup untuk dua bulan.

“Itu melewati batas hukum Negara, Nak,” Aku menggeleng. Kuserahkan kembali bingkisannya.

“Tidak sah secara Negara, itu tanggung jawab saya, Pak. Tidak sah secara agama, itu bisa merusak hubungan saya sama Tuhan. Nikah siri lebih baik daripada maksiat, kan, Pak?”

Setelah itu ada hening cukup panjang sebelum aku menjawab. Empat puluh tahun lalu, seseorang juga pernah mendatangiku dan minta dinikahi secara siri. Aku mulai menceritakan itu kepadanya agar ia berpikir ulang.

“Kau perempuan, Ras,” kataku waktu itu. Belum sempat kuselesaikan penjelasanku, ia memotong.

“Aku mewakilinya. Dia sedang sibuk.”

“Maksudku bukan begitu. Temanku pernah menikahi seseorang secara siri, belum genap dua tahun, suaminya menikah lagi. Dan kau tahu? Istri pertamanya tidak diakui.”

“Karena tidak sah secara Negara?” Gadis itu membesarkan matanya, “kami tidak mungkin melakukan itu, Ma. Kami—“

“Saling cinta? Sekarang, iya. Nantinya pasti dia akan melakukan itu. Rata-rata seperti itu yang terjadi.”

“Kenapa kamu begitu yakin?”

“Aku mencintaimu, Ras.” Cepat, kuakui. Dadaku sudah bergemuruh dari tadi. Ramai sekali perasaan yang berkelahi di dalam. Nyaliku seperti kilat yang menyambar. Saat itu, waktu seakan berhenti dan cintaku tak pernah bangun untuk jatuh ke yang lain lagi.

“Sudah yang ketiga kali kamu menyatakannya, Ma. Dan kamu selalu tahu jawabannya.”

“Aku akan menunggu.”

“Kamu gila?! Aku ingin menikah dengan orang lain, Brama,” katanya dengan nada menekan.

“Kamu lebih gila, Ras. Kamu tahu perasaanku gimana, lalu kamu datang memintaku melihat seseorang yang kucintai bersatu dengan orang lain yang sampai sekarang aku enggak tahu siapa. Jelas, di depan mata.”

“Karin. Sekarang kamu tahu? Sudah puas? Aku calon suaminya.”

Aku tersenyum kecut. Hampir jantungan. Beberapa menit kubiarkan tubuhku menjadi kaku dan ucapanku menjadi gagu. Terkubur dalam satu waktu. Barangkali aku akan struk, itu lebih baik. Tapi Tuhan memberi takdir sebaliknya. Aku menghela napas berat. Dan setelah itu, aku mampu menjauhinya dengan ringan.

Karin, sahabat karibnya sejak SD. Setelah lulus SMA mereka berpisah. Karin pindah dan berkuliah di Jogja sedangkan Laras tetap di Jakarta. Keduanya terbuat dari keluarga broken home. Ayah Karin yang diceraikan istrinya dan Ibu Laras yang terlibat KDRT. Tidak semua orang berhak tumbuh jadi orang tua dan memiliki anak. Hanya itu yang aku tahu. Sisanya, aku menyadari bahwa pribadi Laras belum tamat kubaca.

Aku membalikkan tubuh, menemuinya kembali.

“Apa kamu sudah memikirkan ini matang-matang? Kamu tidak akan memiliki anak,” Kakiku sedikit gemetar ketika kembali berdiri di depannya. Aku berharap pernyataanku membalikkan arah tujuannya.

“Anak? Aku bisa mengadopsi,” Ia menitikkan air mata.

“Baiklah. Untuk apa sebenarnya kamu datang menemuiku dan minta dinikahi? Kamu pasti sudah tahu, secara agama atau Negara tidak akan pernah sah. Dan aku tidak mungkin bisa mengubahnya, Ras.”

“Aku tahu-aku tahu,” Sekarang ia menangis terisak, “aku bingung. Aku hanya ingin minta pendapatmu untuk masalah kami.”

“Berpisah, Ras. Jika tidak bisa bersatu, kalian bisa berpisah.”

Kata-kataku yang terakhir membuatnya berhenti menangis. Kukira berhasil, ia berdiri tegap, mata tajamnya menenggelamkanku sampai ke dasar matanya, lalu seperti angin, lengannya menampar keras pipiku dua kali. Kanan dan kiri secara bergantian. Menciptakan sakit di dada kiri; hatiku.

“Makasih, Ma.” Sesederhana itu, kemudian ia pergi.

Beberapa minggu kemudian aku melihat berita di tv, seseorang bunuh diri dengan melompat dari atas mall, Karin. Apakah salah jika aku membuat mereka berpisah?

“Apa hubungannya curhatan Bapak itu dengan saya,” Laki-laki itu tersenyum merekah.

“Bapak tidak bisa menikahi kalian.”

“Kenapa?”

“Kau gay!”

Dia tertawa terbahak-bahak. Entah bagian mana yang lucu, kecuali jika ia gila; tak perlu lucu untuk tertawa.

“Dari mana bapak tahu? Saya bukan gay, pacar saya yang gay!”

Aku tersenyum. Dia benar-benar gila. Aku ingin sekali meninju dan mematahkan rahangnya atau gigi depannya agar ia malu untuk tertawa. Menjadi penghulu, aku sudah terbiasa menemui beberapa orang aneh seperti ini. Mulai dari pernikahan beda agama, sesama jenis atau berbeda jenis sesama agama tapi masih anggota keluarga; kakak beradik. Shit!

“Lain kali jangan warnai bulu matamu, memberi hiasan pada kuku-kuku, dan…turunkan sedikit celanamu,” Dengan jelas aku membisikan itu di telinga kanannya. Dengan langkah ringkih, aku beranjak dari tempat duduk dibantu tongkat kayu.

“Larasmu belum mati.”

Aku menghentikan langkahku.

“Pergi,” usirku sebelum amarahku tumbuh. Di jauh dari tempatku, tiba-tiba Laras sangat dekat di langit pikiranku. Kenangan perihal dirinya menjadi awan.

“Saya koreksi sedikit, ya, Pak. Larasmu belum mati. Waktu itu, mereka memang bersepakat bunuh diri. Tapi yang melompat hanya Tante Karin. Larasmu tidak.”

Aku berjalan tergesa-gesa dengan tongkatku mendekatinya. Kugenggam kerah bajunya dan kepalaku siap kubenturkan ke kepalanya. Ia gemetar.

“Bapak…yang bapak….ceritakan itu…Ibuku,” katanya putus-putus. Dadaku sesak, habis diisi kejutan-kejutan. Kulepaskan ia.

“Kenapa kau ke sini! Pergi!” Aku berteriak sekencang-kencangnya. Tak peduli lagi tetangga sudah menonton kami.

“Ibu yang menyuruh saya, Pak.”

“Untuk apa?”

“Minta pendapat.” Ia terlihat sangat ketakutan. Tambah gemetar.

“Jika menurutmu itu penyakit, kau bisa menyembuhkan dirimu sendiri.”

Ia tidak bilang apapun lagi. Langsung pergi berlari, menangis, menutup mulutnya tanpa sekalipun menoleh ke belakang. Aku pun masuk ke rumah dan sadar penuh, hari ini entah untuk ke berapa kalinya, aku memberi bahan pembicaraan untuk diperbincangkan tetangga-tetangga. Tapi aku tak peduli. Sebab, aku percaya orang lain tak akan benar-benar tahu apa-apa tentang siapa-siapa.

Yang membuatku penasaran, bagaimana Laras bisa menyembuhkan dirinya sendiri?

Aku juga ingin menyembuhkan diriku sendiri dari cinta kepada seseorang yang tak mencintaiku. Setelah itu, aku belajar mencintai “diriku sendiri”. Yang setia menemaniku selama ini; napasku.

*

Seminggu kemudian, aku mendapat kiriman surat dari laki-laki tempo hari. Isinya;

Terimakasih telah menyadarkan bahwa di Negara kita pernikahan seperti itu tidak akan pernah terjadi. Sama seperti Ibu angkatku,  Laras; kami tidak bisa sembuh, tapi kami berharap tidak akan mati dengan sia-sia dengan cara mendonorkan organ tubuh satu persatu.

Jadi, siapapun yang membutuhkan organ tubuh manusia, temui saya.

Asal jangan donorkan hati. Perasaan ini amat rumit.

Hari ini, Ibu mendonorkan  ginjalnya setelah sebelumnya kornea mata. Ibu bilang; setiap akan memulai operasi, yang terbayang adalah wajah Bapak Brama.

Apa Ibuku mulai sembuh?

Menjawab tantangan #FiksiLGBT dari @kampusfiksi

5 comments:

  1. keren mas, "penghulu gay" aku kira penghulunya yg gay hahahah

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih banyak, Mba Anisa udh jadi pembaca setia. Semoga segera disandingkan dgn yg setia pula. 😁

      Delete
  2. Replies
    1. ((Menggelitik))

      Makasih, Mba Zakiyyah udah baca dan mampir. Sering-sering aja, ya. Hehe.

      Delete
  3. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete

Terimakasih udah ngeluangin waktunya buat baca ini. Sebelum pergi, baiknya tinggalkan jejak. Jejak untuk dikenang. Dikenang keindahannya. Jadilah tak terlupakan. Silakan coret kalimat di kolom komentar. :)