Pulangmu, Pergiku.

21:58 Unknown 8 Comments



Beberapa dari pembaca (mungkin kamu), ikut bertanggung jawab atas masa sekolah dan kehidupan yang aku alami.


Pulang; yang harus kau ingat, ketika pergi.



A
ku memilih tidak akan pergi untuk pulang. Aku akan menetap sampai yang menetapkanku membuat takdir agar aku tak lagi bisa menetap. Atau jika aku masih bisa memilih, aku ingin melawan takdir yang telah ditetapkan untuk satu keinginan;

Aku tidak ingin pulang. Aku ingin menetap.

Tidak pergi, juga tidak pulang.

“Ayah yang membuatku pergi, Paman. Sekarang, dia minta aku untuk pulang? Lelucon macam apa ini?!” Aku terkekeh.

“Tapi, Ayahmu pernah bilang—“

“Bilang pada Ayah; aku tak punya Ayah,” Cepat dan lantang, aku memotong.

“Kalau begitu, Paman secara pribadi yang memintamu untuk pulang. Sekali, seumur hidupmu. Bisa, kan?”

Aku mendadak gagu. Kumatikan handphone itu dan kubuang ke sembarang arah. Percakapan yang sebentar itu mampu membuatku merenung lama. Menggoyahkan prinsipku selama bertahun-tahun ini.

Aku tidak ingin pulang. Tapi, sayangnya ayah ingin.

***

Manusia yang mengurusiku dari lahir tepat ketika ibu rela menukarkan hidupnya demi aku;

Ayah.

Terakhir kali aku memanggilnya kelas dua SMP. Setelahnya tidak pernah. Bagiku, dia ada tapi kutiadakan. Aku hanya menganggapnya tokoh fiksi yang jarang sekali tampil dalam sebuah cerita. Selama satu tahun, aku berhasil “meniadakannnya” dalam hidupku. Dan di tahun selanjutnya, aku pergi.

Maksudku, ayah yang membuatku pergi.

Di umur 3th, aku kecil menjadi pribadi yang berbeda dengan anak lainnya. Waktu bermainku terlalu banyak dikurangi oleh ayah untuk belajar mengeja dan membaca.

“Kalau kamu jadi orang cerdas, hidup kamu akan mudah,” kata ayah.

“Semudah bermain?” tanyaku waktu itu. Ayah tersenyum dan mengangguk mantap.

Aku dibodohi. Hari selanjutnya, hidupku jadi rumit. Tak ada permainan yang benar-benar kunikmati saat aku bermain permainan. Karena yang ada dalam kepalaku hanyalah huruf-huruf yang tersusun menjadi kata, kata menjadi kalimat dan kalimat menjadi cerita.

Maka, aku kecil lebih dulu bisa membaca dari anak-anak sebaya. Ayah, keluarga, tetangga, mereka semua saat itu mengatakan aku cerdas. Tapi, hidupku makin tidak mudah. Di sekolah, aku malah bosan belajar hal yang sudah kupelajari dan mampu kulakukan. Karenanya, aku lompat kelas beberapa kali.

“Matematika. Ayah tak pernah bosan belajar matematika.”

“Belajar itu membosankan, Yah. Tidak ada permainannya,” Aku mengeluh.

“Belajar itu permainan, Nak. Di Matematika, kita bermain permainan mencari angka-angka yang bersembunyi. Itu lebih seru dari permainan “petak umpet” yang dimainkan teman-temanmu.”

Pernah suatu ketika nilaiku menurun. Ayah menghukumku berdiri dengan satu kaki di bawah pohon besar di pekarangan rumah—tempat di mana orang-orang desa mudah melihatku ketika lewat. Karena tujuannya memang itu, mempermalukan aku.

Maka, aku kecil lebih cepat menghapal perkalian, rumus dan segala bentuk perhitungan yang menghasilkan nilai angka. Selanjutnya, aku belajar bahasa asing dan pengetahuan umum lainnya. Seperti yang ayah mau, pelajaranku menjadi mudah. Ya, semudah bermain permainan.

Tapi, hidupku malah berlaku sebaliknya.

Di sekolah, aku dimanfaatkan teman-temanku (mungkin di antaranya adalah kamu) saat ujian atau semacamnya yang berhubungan dengan pengambilan nilai. Diganggu, diejek dan dikucilkan adalah hari-hari sekolahku. Aku pintar, tapi dimanfaatkan teman-teman yang bodoh. Pada bagian ini, siapa yang pintar, siapa yang bodoh, ayah?

Ayah mungkin lupa, tak pernah mengajarkanku tentang keberanian, menyalakan nyali, cara berkelahi dan cara disegani lawan. Atau aku yang bodoh, tidak bisa memanfaatkan kecerdasanku untuk mengatasi masalah-masalahku sendiri. Sekali lagi, siapa yang pintar dan siapa yang bodoh, ayah? Dari sana, aku tumbuh menjadi pribadi introvert. Temanku tak banyak. Hanya satu; kesendirian.

Di kelas satu SMP, diam-diam aku mempelajari menyalakan nyali. Lewat film, buku, tontonan berita kriminal dan pertengkaran antara ayah dan saudara-saudara ayah. Dari yang terakhir, aku mempelajari cara mengubah cinta jadi benci.

Di kelas dua SMP, nyaliku berhasil menyala.

“Kutu buku!” Ketua komplotan berbadan besar itu datang-datang melempar buku ke arahku. Seperti biasa. “Selesain, ya…”

“Sudah selesai.” Aku balik melempar buku ke wajahnya dengan keras.

Dan kemudian terjadi perkelahian. Aku yang lebih dulu memukulnya. Pada saat itu, aku hampir membunuhnya. Dia dikabarkan kritis di rumah sakit; luka dibagian kepala karena batu. Kemudian dirujuk ke rumah sakit pulau seberang.

Ayah.

Kau tahu apa yang dilakukan pria itu? Memindahkanku ke sekolah lain yang jauh dari rumah. Setelah lulus, ia memaksaku pindah dari rumah ke tempat asing dengan alasan agar aku menjadi mandiri. Bersama kakek, kebencianku terhadap ayah makin menjadi. Apalagi, selama di rumah kakek, ayah melarangku untuk pulang. Sampai aku lulus SMA. Lalu aku memutuskan untuk tidak pernah pulang.

Tapi, sekarang ia ingin aku pulang. Ayah mabuk?

***

Pulang; ada yang kembali, ada yang ditinggal pergi.

Aku mengambil dan menyalakan handphone kembali. “Maafkan aku, Paman. Tidak bisa.” kataku dari telepon. Suaraku parau.

“Kau masih ingat, teman laki-laki yang hampir kau bunuh itu? Yang kau pecahkan kepalanya dengan batu?”

Aku diam saja.

“Ayahmu harus mengeluarkan banyak uang pada saat itu agar masalahmu bisa diselesaikan dengan jalan damai. Dia menggadaikan rumahmu. Itu sebabnya, setelah lulus SMP kau dipindahkan ke rumah kakekmu karena rumah itu terjual. Dan ayahmu bekerja di Negara lain."

“Jangan mengada-ngada, Paman…” Aku tak percaya.

“Kau kira uang jajan, biaya sekolah dan kuliahmu dari siapa? Temanmu, yang kau pecahkan kepalanya itu mati, Ben…”

“Bulshit!” Aku memukul dadaku yang tiba-tiba sesak.

“Tapi, dia menutupi agar kau tak merasa bersalah. Menutupinya dari semua orang. Jika dihitung, berapa harga untuk satu nyawa, Ben? Dia hanya minta agar kau mengumandangkan adzan untuk melepas kepulangannya. Seperti adzannya yang pernah menyambut kelahiranmu.”

Langit-langit atap serasa menimpa kepalaku. Semakin paman terus berkata, semakin hancur tubuhku.

“Setiap hari dia merindukan kepulanganmu semenjak kau pergi. Ada pelajaran yang belum selesai, Ben..." Paman memberi jeda, "kata ayahmu, hidup ini berpasangan. Baik buruk tidak bisa dipisahkan, tapi diterima. Menerima itu kedamaian, Ben. Karena dari kecil, ayahmu tak pernah menggunakan tangannya untuk memukul. Apa kau pernah dipukul, Ben?"

Aku menggeleng. Tangisanku tumpah. Gemetar.

"Jadi, aku tahu benar bagaimana ayahmu bekerja keras mengajarimu agar kau bisa sukses seperti sekarang. Ya, semudah sekarang. Pulanglah, Ben. Sekali, seumur hidupmu.”

Perkataan paman telak menamparku. Meruntuhkan kebencian terhadap ayah dalam waktu sekedip mata. Kemudian penyesalan tertawa puas atas diriku. Raut wajah bahagia berganti menjadi kacau. Aku teringat bermain ayunan sambil menghapal perkalian, dihukum di bawah pohon, dan…

ciuman hangat ayah di sepasang pipiku, di setiap pagi.

“Sudah siap berangkat, Ben?” kata Riko, temanku, kepalanya menyembul dari balik pintu kamar. “Masih ngapalin ijab?”

“Sebentar lagi,” jawabku singkat.

Beberapa menit Riko meninggalkanku, aku juga pergi, meninggalkan calon istriku.

***

Setelah pemakaman ayah, aku berjalan-jalan melewati desa tempat aku tinggal dulu. Rumah itu, pohon di mana aku dihukum dan ayunan tempatku belajar, semuanya belum berubah. Yang berubah hanya keluarga baru yang telah menempati rumah itu.

Dari kejauhan, kulihat anak kecil sedang menghapal perkalian sambil bermain ayunan.

8 comments:

  1. Replies
    1. ((Judulnya)) Enggak sekalian yg nulisnya, mba?

      Makasih, Mba Eka sudah mampir. Sering-sering, ya. Hihi.

      Delete
  2. ceritanya bagus mas, cuman klimaksnya kurang.. hehe

    Coba tulisannya dibuat lebih gede lagi biar gak pusing bacanya apalagi yang udah minus.. :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thanks, Mas Tur kunjungan dan sarannya.

      Sudah saya ganti. Sering-sering mampir. :))

      Delete
  3. keren niih, tapi kurang dikit lagi klimaksnya biar bisa lebih 'dapet' lagi hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thanks, mba Nurul Aini kritikannya. Terima kasih juga udah mau mampir. :))

      Delete

Terimakasih udah ngeluangin waktunya buat baca ini. Sebelum pergi, baiknya tinggalkan jejak. Jejak untuk dikenang. Dikenang keindahannya. Jadilah tak terlupakan. Silakan coret kalimat di kolom komentar. :)