Cerpen Sedih; Sebuah Mimpi dan Kejadian Yang Menghantui

18:51 Unknown 1 Comments

@Realnaw


Mimpi itu datang lagi. Terus memburuku, memeluk tubuhku semakin erat, menyesakkanku. Dan aku selalu terbangun seperti orang sekarat, yang hendak pergi, yang hendak mati.

Tapi aku tetap hidup.

Selama satu tahun terakhir ini aku bermimpi aneh. Aku bertemu perempuan secara berulang-ulang di tempat yang sama. Pantai.  Tapi, selama memimpikannya, aku tak pernah bisa mengingat wajahnya ketika bangun. Aku hanya mengingat namanya, Meilyza.  Hanya nama, tidak dengan wajah apalagi kepribadiannya. Aku tak tahu kenapa. Ketika bangun, mendadak lupa apa yang telah aku mimpikan. Aku selalu gagal mengingatnya.

Dahulu namaku Rama bukan Brama. Ayah yang menggantinya saat baru saja pindah di rumah baru.

“Perpindahan itu pasti terjadi dalam hidup. Pindahkan semua yang tidak baik menjadi baik,” Ayah berkata.

“Jadi nama Rama tidak baik untukku?”

“Bukan tidak, tapi Brama lebih baik dari yang terbaik. Bra-ma.” Ayah menepuk bahuku setelah itu pergi, duduk santai di taman belakang rumah. Membaca koran berita. Berita yang belum tentu judul dan isinya sama. Terkadang di bagian isi mereka mengurangi atau menambahi berita. Kata kakek. Tapi lupakan, aku tak membahas itu.

Akhir-akhir ini aku mengusahakan untuk tak membantah perkataan orang tua. Mencoba menjadi patuh. Kata kakek sebelum meninggal, terkadang kita tak cukup ilmu untuk memahami nasihat orang tua. Jadi yang harus kita lakukan hanyalah menerima –selama itu baik.

Malam berikutnya, aku mencoba tidak tidur. Tapi gagal. Aku tetap tidur. Hanya saja ketika bangun, ada bisikan yang mengajakku pergi ke suatu tempat tanpa dengan kembali.

Aku mengimaninya. Pagi-pagi sekali saat orang rumah masih tidur, aku pergi.

*

Dalam jarak pandangku berderet beberapa perahu yang terikat. Hembusan angin di sekitar sungai sungguh menyejukkan. Mungkin dalam hitungan menit akan ada pertunjukkan senja yang memukau. Kali ini aku berada di sungai Mentaya. Tempat yang dibisikkan suara itu. Tapi aku tetap tak tahu, siapa wanita yang bernama Meilyza dalam mimpi itu?

Aku membalikkan badan dan bergegas pulang, mungkin perempuan itu muncul besok.

“Tunggu! Pinjam kameramu,” Tiba-tiba seseorang menepuk bahu menghentikan langkahku dan langsung merebut kamera yang sedang kupegang saat melihat hasil jepretan-jepretanku.

“Hei! Kenapa?!”

“Aku tak suka difoto dengan diam-diam. Meski gak disengaja,” Setelah menghapus beberapa foto (yang terdapat ada dirinya) ia mengembalikan kameraku dan langsung saja pergi. Perempuan aneh. Batinku.

“Hei! Apa namamu Meilyza?!” teriakku menghentikannya.

“Dari mana kamu tahu?”

Dadaku berdegup. Akhirnya. Aku mendekatinya. Lalu menceritakan mimpi itu.

“Bagaimana mimpi itu menurutmu? Oh, ya. Brama,” Aku mengulurkan tangan, memperkenalkan diri.

“Mengarang. Aku berbohong. Namaku Nanda bukan Meilyza.” jawabnya tak mempedulikan tanganku yang menunggu untuk dijabat. Ia pergi begitu saja dan sama sekali tak menoleh ke belakang.

*

Keesokan harinya aku ke sungai ini lagi, tentunya membawa harapan bertemu dengan Meilyza yang benar-benar Meilyza. Sungguh, gara-gara mimpi itu aku terlihat bodoh, mungkin bisa dibilang gila. Setiap perempuan tak terkecuali anak-anak atau ibu-ibu yang berada di sekitar sungai itu aku tanya, “apakah kamu, Meilyza?” dan selalu kudapati jawaban bukan, kemudian mereka cepat-cepat menghindar. Ada apa?

“Apa kamu, Meilyza?” tanyaku lagi kepada yang lain.

“Iya.” Aku mengernyitkan dahi, jantungku berdebar tak karuan, “Iya, aku Meilyza. Ada apa, ya?”

Kali ini aku yang cepat-cepat menghindar, pergi sejauh mungkin dari pandangannya dan laki-lakinya. Mana mungkin Meilyza hamil, dan suaminya segagah itu. Bisa mati konyol aku. Pikirku.

Jika mimpi itu hanya bunga tidur, betapa ruginya aku menghabiskan gajiku untuk ke sungai ini, membuat keluargaku keheranan. Cepat-cepat aku mengabari, menelpon ayah.

“Aku baik-baik saja. Besok aku pulang. Maafkan aku tidak izin terlebih dahulu.”

Setelah kupikir, sudah terlanjur ke tempat ini, sebelum pulang tidak ada salahnya berlibur dan menikmati kota ini. Aku memutuskan untuk pergi ke tepi sungai Mentaya, di sana ada sebuah rumah makan di atas sungai dan satu-satunya rumah makan yang ada di sini. Setelah googling sebentar, ikan Jelawat, kuliner yang katanya tak boleh dilewatkan untuk dicicipi saat berlibur di sini. Oke.

“Rasanya enak, kan?”

“Sangat,” jawabku setelah menghabiskan makanan, “Eh, kamu?” Aku baru menyadarinya, ia tersenyum.

“Sudah bertemu dengan Meilyza-nya? Ia tertawa, “Ibu hamil tadi Meilyza, kan?”

“Kamu mengikutiku?”

“Harusnya kamu yang mengikutiku. Cepat bayar! Banyak tempat yang belum kamu kunjungi.” Ia tersenyum, sungguh dia perempuan yang manis dengan rambut diikat kuda, baju putih yang dibalut jaket dan celana hitam dengan sepatu converse hitam. Agak aneh memang, kemarin marah-marah saat tak sengaja terfoto, sekarang begitu baik hati. Harusnya namanya Meilyza.

“Kenapa melihatku seperti itu? Ayo cepat bayar! Kamu mencurigaiku?”

“Tidak-tidak.” jawabku sedikit gugup.

Nama Nanda menurutku seperti nama laki, tapi entahlah. Kali ini ia mengajakku melihat salah satu kebudayaan kota Sampit ini. Mandi safar.

"Kamu harus mandi safar.”

“Apa itu dan untuk apa?”

“Mandi safar itu mandi di bulan safar. Untuk membuang kesialan.”

“Jadi menurutmu aku sial?” Kataku menunjuk diriku sendiri.

“Kamu gila. Hanya karena bisikan dan mimpi aneh kamu sampe ke sini.”

Aku tertawa. Mentertawai diriku sendiri. Mungkin setahun ini aku bermimpi seperti itu sebab reaksi sudah terlalu lama sendiri. Tak punya pacar.

Aku mencoba mandi safar karena Nanda memaksaku, sedangkan Nanda memotret momen ini. Ia tertawa melihatku dikelilingi anak-anak. Sepertinya kesialanku karena mempercayai mimpiku bakal terlepas. Dan keberuntunganku akan datang; Nanda.

Setelah itu ia mengajakku ke pantai pangandaran. Cukup jauh, memang. Tiga jam dari tempat ini. Tapi sampai di sana terbalas. Satu jepretan sebuah batang pohon di tepi pantai dan matahari tenggelam. Komposisi yang cukup indah. Kami duduk di atas batang pohon itu sambil melihat senja.

“Kenapa mau jadi tour guide-ku?” Aku bertanya.

“Aku juga pernah mimpi seperti itu. Selama dua belas tahun malah.”

“Dua belas tahun?” Dia mengangguk. Tersenyum.

“Bukan mimpi, sih. Tapi apa, ya. Lebih ke kejadian yang selalu menghantuiku. Berulang-ulang, setiap waktu. Selama dua belas tahun. Jadi aku hanya ingin kita melupakan itu. Menerimanya.” Pada kalimat akhir ia mengatakan pelan-pelan dan menatapku serius. Aku menelan ludah.  

“Apa kamu sudah punya pacar?”

“Besok aku pulang ke Malaysia. Aku akan menikah dan tinggal di sana bersama suamiku nanti.”

Hatiku robek. Beberapa menit kemudian aku mengajaknya kembali.

Besoknya aku bersiap pulang ke Jakarta. Mimpi, Meilyza atau perempuan bernama Nanda itu benar-benar membuatku bodoh. Tak lupa sebelum berangkat, aku menelepon Nanda dan mengucapkan terimakasih sekadarnya saja. . Tak pernah terbayangkan, karena sekadar mimpi aku bisa sampai ke sini dan merasakan patah hati secepat ini.

“Kenapa ada di sini kamu, Nak. Apa kabar? Sudah sembuh? Bagaimana Ayahmu, sehat?” tanya si sopir, aku hanya mengernyitkan dahi. Sopir aneh. Batinku. Aku tak mempedulikan.

“Percepat jalannya, Pak.”

“Untuk apa? Pelan-pelan saja,” Ia malah mengurangi kecepatan, “kamu harus mendengar cerita cinta wisatawan kota ini, Nak. Dengarkan ceritanya dengan konsentrasi.”

“Apaan, sih, Pak?” Aku sedikit geli mendengar sopir ini, tapi ia serius dan memulai ceritanya. Mungkin cita-citanya dahulu sebagai pendongeng tak terwujud.

Sebelumnya aku tidak mendengar ceritanya, tapi sampai ke kalimat dua belas tahun itu aku tak ingin terlewatkan ceritanya sedikit pun.

“Tepat dua belas tahun yang lalu. Tahun 2001, di kota ini terjadi kerusuhan etnis antara suku Madura dengan Dayak. Dalam kerusuhan tersebut, lebih dari 400 orang tewas dan 40.000 orang harus mengungsi. Dan di antaranya sepasang kekasih itu terlibat meski sebenarnya tidak ingin dilibatkan. Secara mereka bukanlah dari dua suku tersebut.”

“Lalu sepasang kekasih itu? Mati?” tanyaku penasaran.

“Tidak. Hanya laki-laki yang Mati. Kemudian pindah ke Jakarta. Mati ingatannya. Amnesia.” Aku mengernyitkan dahi. Menelan ludah.

“Siapa namanya?”

“Rama dan Meilyza. Saya Pak Nanda, teman akrab ayahmu. Sepertinya kepalamu itu masih tersumbat. Apa kabar ayahmu?”

“Putar balik, Pak! Cepat!”

1 comment:

  1. makasih atas infonya sangat membantu, kunjungi http://bit.ly/2noIUOl

    ReplyDelete

Terimakasih udah ngeluangin waktunya buat baca ini. Sebelum pergi, baiknya tinggalkan jejak. Jejak untuk dikenang. Dikenang keindahannya. Jadilah tak terlupakan. Silakan coret kalimat di kolom komentar. :)