Bagaimana Mempekerjakan Keikhlasan?

21:39 Unknown 6 Comments

foto by unsplash

“Ikhlas itu apa?” tanyanya.

Saya heran dengan manusia-manusia yang mengamalkan ikhlas hanya jika—setelah sebuah kepergian atau kehilangan. Sudah, ikhlaskan saja kepergiaannya. Ambil saja hikmahnya. Kalimat-kalimat seperti dan semacam itu seringkali kamu dengar di sebuah pemakaman atau setelah kehilangan seseorang atau sesuatu hal yang penting dalam hidup. Lucunya, yang menyuruh ikhlas bukanlah orang yang bisa ikhlas.

Kenapa harus menunggu sebuah kepergian atau kehilangan dulu, baru “ikhlas” itu dipekerjakan?

Dan bodohnya—saya berani berkata dengan amat jujur; saya tidak bisa menyediakan ruang kerja ikhlas di dalam kepala atau hati saya. Sebab, saya tidak pernah siap mengikhlaskan kehilangan yang baru saja terjadi atau menyiapkan keikhlasan untuk segala hal yang akan terjadi.

Termasuk pada hari itu. Hari yang seharusnya saya tidak memilih pergi konsultasi ke rumah sakit. Hari penuh kejutan; tanggal merah pada hari Senin.

“Saya turut berduka,” Dokter itu memulai pembicaraan dengan bahasa yang tidak enak betul untuk didengar. Dan diakhiri dengan nasehat yang malah cocok digunakan untuk keadaan politik Negara ini. “Sabar dan ikhlas.”

Saya mandul. Bukan istri saya. Sialan! Jika saja sebaliknya, saya bisa memiliki istri lagi. Tapi, saya yang mandul. Lucu? Saya menulisnya dengan amat menyedihkan, andai kamu tahu.

“Kamu bisa menikah lagi, Beb…” kata saya.

“Hah?”

Saya pergi. Dia tidak menahan sama sekali.

***

“Ikhlas itu apa, Om?” tanyanya lagi. Membuyarkan ingatan saya tentang luka.

“Nama toko manisan.” jawab saya. Yang bertanya malah melongo. Saya menunjuk ke seberang. Tepat pada plang toko. Anak kecil itu tertawa—jika saya boleh asal menebak, umurnya lima tahun. Saya diam saja. Hujan makin deras. Kami bakal berteduh lama di sini. Di depan toko yang sudah tutup.

Seseorang nenek mendekat ke kami—saya tidak memperhatikan ia datang dari mana. Mungkin dari toko yang berada di ujung kiri dan tidak mungkin menyembul tiba-tiba dari aspal.

“Mungkin,” kata anak kecil itu. Kepala saya dipadati masalah, “mungkin ikhlas itu nama pemilik toko. Pak Ikhlas. Hehe.”

Gadis mungil tersenyum. Saya masih diam saja. Ohya? Bodok amatlah, Dek! Abang lagi pusing. Seperti itu kira-kira.

“Hoi!” Saya bener-bener kaget. Sumpah! Dasar nenek funky! Dandanannya dengan jeans robek di lutut, jaket hitam dan topi. Gila.

“Masih muda sudah banyak melamun. Sekarang jam berapa, Ganteng?” tanya nenek funky.

Saya melotot. Nenek tersenyum.

“Jam setengah empat, Nek.” Ramah saya menjawab. Lebih tepatnya, luka saya amat sakit.

Toko-toko di sini memang sudah pada tutup jam setengah tiga. Kenapa? Memang sudah dari dulu.

“Ganteng-ganteng tapi budek. Jam berapa sekarang?!” suaranya cempreng serupa suara mainan kapal air yang sering dijual di pasar malam lapangan dekat rumah.

“Jam enam sore, Nek!” Saya teriak sekeras yang saya bisa. Gadis mungil tertawa. Nenek menepuk-nepuk bahu saya. Pertanyaannya diulang; jam berapa? Saya menahan emosi dan menjawabnya dengan isyarat. Sekarang hujan makin deras campur gledek. Mungkin langit ikut emosi.

Gadis mungil dan nenek funky tertawa. Duka saya bertambah.

“Siapa nama kamu anak manis? Kenapa sendirian di sini?” Kali ini nenek bertanya pada gadis mungil.

Saya bakal mulai tersenyum.

***

“Hah?”

Saya pergi. Dia tidak menahan sama sekali. Tepat selangkah keluar dari rumah, Kumala—istri saya melayangkan luka dan duka secara bersamaan.

“Lebih baik kita cerai, Mas.”

Sejak kapan perceraian itu baik, Kumala? Saya menoleh dan tersenyum kecut. Kemudian dia melayangkan high heels-nya. Sabar dan ikhlas, Kumala. Persetan!

***

“Kumala.” jawabnya tepat di telinga nenek. Seperti berbisik tapi suaranya besar. Persetan! Saya melonjak kaget.

“Kumala?” Saya memastikan.

“Namanya Kumala. Ganteng-ganteng kok budek, sih!”

Gadis mungil dan nenek funky tertawa bersamaan. Saya menarik napas dalam. Mereka melanjutkan obrolan. Saya tidak mau mendengarkan lagi. Di sebelah toko—berjarak dua toko dari tempat kami berteduh, tiba-tiba saja dibuka. Tumben sekali. Seseorang bapak tua keluar dengan tergesa-gesa.

Kemudian… ya. Bergabung bersama kami. Hujan belum reda, obrolan masih berjalan. Begitu juga dengan luka di dada kiri saya.

“Kurang ajar sekali ayahmu itu, anak manis.” Nenek mengelus rambut gadis mungil, “sabar dan ikhlaskan saja, ya. Nanti kamu ikut Om ini.”

“Ikhlas itu apa, Nek? Tadi Ayah juga menyuruh aku ikhlas.”

Awalnya saya biasa saja. Tapi setelah tahu apa yang terjadi kepada gadis mungil, saya jadi kelabakan. Jujur, saya tidak peduli mengenai gadis mungil. Saya lebih peduli terhadap luka dalam diri saya. Sedang yang ada di luar diri adalah debu, adalah semu. Tidak saya pedulikan.

Termasuk bertanya kenapa gadis mungil sendirian di sini? Kenapa nenek funky memilih berpenampilan seperti belalang? Kenapa engko-engko (saya suka sekali memanggil bapak-bapak cina yang sering menjaga toko dengan panggilan itu) tiba-tiba pergi dengan tergesa-gesa?

Tapi, saya jadi tertarik mendengar cerita-cerita mereka.

Ayah gadis mungil menyuruhnya untuk menunggu di depan toko ini. Rumahnya di Jakarta. Tapi, ini di Lampung. Semua orang dewasa tahu bagaimana nasib gadis mungil ini selanjutnya.

Nenek funky semasa mudanya sudah tumbuh di jalanan. Tetapi, sekarang ia memiliki rumah dan suami yang mencintainya. Katanya. Tapi kenapa dia di sini? Tentu saja saya tidak bertanya kepadanya. Luka dan duka membuat saya tidak ingin berteriak. Kecuali dalam hati.

Engko-engko. Saya tertawa mendengar ceritanya. Ya, saya sendiri. Ia diusir istrinya karena hal sepele; menyembunyikan remot tv. Padahal, toko mereka adalah toko elektronik. Yang pasti menjual remot tv untuk semua merk tv. Ya, kan?

“Kamu kenapa di sini?”

“Kalo Om, kenapa di sini?”

Pertanyaan mereka bersamaan. Yang berbeda, satu suara lembut, satu ala cina dan satu lagi suara belalang. Entah kenapa saya suka menyebutnya belalang. Saya diam agak lama. Menimbang untuk diceritakan atau tidak. Pilihannya yang pertama.

Hujan sudah mulai reda. Matahari pulang kerja. Tapi, luka masih saja deras terasa dalam dada.

Selesai cerita semua terdiam. Nenek mengelus punggungku. Saya heran kenapa nenek suka mengelus? Hujan sudah reda. Saya pamit pulang dengan semua.

“Lo olang kalo pulang semua, gimana dengan gadis cantik ini? Dan saya?” Pertanyaan engko-engko itu lebih seperti mencegah saya.

“Kamu bawa pulang saja anak manis ini. Angkat sebagai anak,” Nenek memberi saran.

Saya tambah pusing. Perceraian seperti di depan mata.

“Oke. Kumala, kamu ikut Om pulang saja, ya.”

“Nggak, Om. Ayah menyuruhku menunggu di sini. Aku akan menunggu ayah menjemputku.”

“Kalian dengar?” Saya ingin mereka berdua menyaksikan, “dia nggak mau ikut saya. Biarin aja dia nunggu selamanya seperti Hachiko.”

Mereka berdua mengomel seperti menggongong. Saya akhirnya membawa Kumala pulang. Tetapi, hal di luar dugaan muncul. Nenek pikun, lupa jalan pulang. Engko memohon menumpang semalam, karena istrinya ngambek tidak lebih dari sehari.

Situasi makin rumit saja. Luka dalam hati saya sulit menemukan jalan keluar.

Saya menggendong gadis mungil yang tertidur di balik punggung saya. Rasanya bulan berada di atas kepala saya. Indah. Nenek bernyanyi, engko menyuruh nenek berhenti. Saya tertawa. Lupa pada luka, lupa pada duka. Selamanya atau sementara?

***

Kumala—istri saya tentu saja nyaris jantungan ketika membuka pintu dan melihat saya seperti membawa keluarga baru. Dia diam saja dengan mulut sedikit terbuka. Kemudian menutup pintu dengan cara dibanting. Brak!

Saya duduk di teras dan menidurkan gadis mungil di kursi panjang. Nenek dan engko sibuk mengetuk pintu dan membujuk Kumala sampai pada akhirnya kembali dibuka. Tetapi saya tidak boleh masuk. Tidak apa-apa. Kata saya. Jangan lupa beri makan gadis mungil itu. Dia lapar.

Dua jam setelah itu, Kumala—istri saya membuka pintu dan mendekati saya. Yang lain sudah pada tidur. Selama dua jam sebelumnya, entah apa yang dibicarakan.

“Kamu mau angkat mereka semua jadi keluarga baru?”

“Nggak.” Saya tersenyum, “cukup Engko aja.”

“Hah? Maksud kamu?”

“Bercanda. Gadis mungil aja.”

Kumala tersenyum. Senyum bulan pindah di wajahnya. Gemas sekali melihatnya.

“Maaf,” ucap saya. Dia sudah paham mengenai apa yang saya maksud. Ikhlaskan saja. Katanya. Kumala menggenggam tangan saya erat. Kami saling berhadapan. Kumala mencium bibir saya.

“Masuk yuk! Aku buatin mie rebus campur telor.”

Saya tidak tahu bagaimana cara kerja atau mempekerjakan keikhlasan. Saya hanya mencoba menerima apa yang telah terjadi dalam hidup saya. Lalu meminta maaf dan memaafkan, termasuk kepada diri sendiri.

Saya menyusul Kumala dan memeluknya dari belakang.

Saya ingin menyediakan ruangan khusus dan nyaman agar keikhlasan bisa bekerja dengan baik? Tapi, bagaimana mempekerjakan keikhlasan?


6 comments:

  1. mempekerjakan keikhlasan ^-^
    ini fiksi atau nyata? kalau nyata, wah hebat... :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Fiksi, kok. Thanks, ya, sudah mampir. Jangan kapok!

      Delete
  2. KEREN mas,
    untuk mempekerjakan keikhlasan :)

    Kemandulan merupakan salah satu bentuk ujian dari Allah SWT. Seringkali, hal ini tidak dimengerti dan tidak jarang setan membisikkan godaan sehingga kita berburuk sangka terhadap-Nya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yap. Mempekerjakan keikhlasan emang keren. Kalo bisa. Ehe.

      Thanks, sudah mampir, Mas Ranjes. Salam uhuy!

      Delete
  3. Ceritanya bagus banget hehe

    Tuhan memang memberikan hikmah yang luar dalam ikhlas, kita memang suka menyepelekan ikhlas tersebut. Mungkin saja ikhlas tak dipekerjakan, namun dipelajari tanpa disengaja

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dipelajari tanpa sengaja? Hmm...

      Thanks pujiannya, Mas. Salam kenal. Sering-sering mampirla.

      Delete

Terimakasih udah ngeluangin waktunya buat baca ini. Sebelum pergi, baiknya tinggalkan jejak. Jejak untuk dikenang. Dikenang keindahannya. Jadilah tak terlupakan. Silakan coret kalimat di kolom komentar. :)