Celengan Babi

20:10 Unknown 2 Comments



Kenangan serupa saudara jauh yang bertamu tiba-tiba. Asal bisa menerima, segalanya akan baik-baik saja, termasuk soal luka.

Celengan babi. Benda itu sudah dihadapan kami. Aku menimang seperti bayi. Kami belum memiliki bayi. Hujan di luar masih deras, aku memadamkan lampu kamar dan membiarkan nyala lilin menerangi ruangan ini agar suasana makin mendukung untuk mengenang, untuk berjalan jauh ke belakang.

*

Kian. Dia yang memberikan benda ini tepat di hari ulang tahunku yang ke enam belas tahun. Kado macam apa untuk lelaki seumuran itu? Harusnya dia memberikan jam tangan ori yang dibungkus rapih dan di dalamnya diselipkan beberapa puisi. Kalau dia tidak bisa membuat atau menulis puisi, dia bisa mengutip puisi Pablo Neruda dan lain-lain, asal jangan Tere Liye. Maksudku, kata-kata Tere Liye sudah sering dibagikan orang banyak. Jadi, pasti ketahuan.

Aku menerima kado yang tidak dibungkus itu dengan terpaksa dan senyum kecut.

“Mulai hari ini,” katanya, “sisihkan uangmu untuk pernikahan kita kelak. Kita mesti mempersiapkannya dari sekarang.”

Aku tertawa. Dia tidak.

“Aku serius,” katanya.

“Kenapa harus celengan? Kita bisa bikin ATM.”

“Nggak. Kalau ATM, masih bisa kita ambil. Kapanpun. Kalau celengan, harus dipecahkan. Tapi, ini celengan limited. Orang lain nggak ada yang punya. Jadi, kamu nggak bisa ngakalin dengan beli celengan baru lagi.”

Aku diam. Ada jeda sebentar. Mengeluarkan dompet di saku celana belakang dan memasukkan selembar uang seratus ribu.

“Kamu marah?” Dia tertawa menggoda.

“Biar lebih cepat,” kataku sekaligus menyindir, “sekarang giliranmu, calonku,” Aku menyodorkan celengan itu. Seramah dan semanis mungkin.

“Nggak-nggak!” Dia tertawa, tambah bahagia. Aku semakin kecut, “tenang. Aku juga punya celengan seperti itu.”

Heh. Kami saling senyum.

Sekolah sudah sepi sejak tadi. Baju kami sudah penuh coretan tanda tangan dan pilok warna-warni. Sore kami rasa Minggu pagi. Langit masih saja terang dan aku tidak ingin gelap datang. Pada Bumi atau pada hati kami.

“Lusa aku jadi berangkat,” Langit tiba-tiba gelap. Sedikit kebahagiaan dicuri dalam diriku.

“Pulang, yuk!” ajakku.

“Kita mampir makan dulu.”

“Uangmu tadi sudah lebih dulu dimakan celengan babi.”

Dia melongo. Aku lari. Tertawa.

Celengan babi. Benda itu benar-benar menjadikanku disiplin dan pecundang pada saat yang bersamaan. Lusa yang dikatakan Kian adalah hari kepergiannya ke Jogjakarta sekaligus hari terakhir ia tinggal di Lampung. Tambahan; seminggu sejak kepergiannya, ia tak ada kabar. Mengabari, tidak sama sekali. Tetapi, kisah mana yang selalu tetap? Dengan bodohnya, aku masih menabung. Babi itu makin gemuk. Aku sebaliknya.

Aku ingin menjadi serigala yang setia hanya pada satu kekasih. Sekali, seperti hidup manusia di dunia. Tetapi, kisah mana yang selalu tetap? Aku bertemu Pratiwi. Kesetiaanku kacau tapi hidup mulai membaik. Seperti kisah pada umumnya, pertemuan selalu sederhana, perpisahanlah yang membuatnya begitu rumit.

Aku bertemu Pratiwi di tempat perpisahan; pemakaman. Agak lucu memang, manusia tidak lahir dan mati sendirian. Di belahan bumi lain, pasti ada yang lahir seperti hari kelahiranmu. Begitu juga dengan kematian.

Aku menghadiri pemakaman yang salah karena terlambat. Kukira itu adalah pemakaman Abah Gede—kakek temanku yang sudah kuanggap sebagai kakek, ternyata itu adalah pemakaman teman Pratiwi. Jaraknya memang agak berdekatan dan sama-sama dipenuhi para pelayat.

Aku dan Pratiwi, percaya atau tidak; sama-sama salah menghadiri pemakaman. Aku baru menyadari saat Pratiwi ditelepon temannya bahwa ia salah tempat. Temannya yang menelepon tepat di sampingku.

“Salah makam, ya?” kata pertama yang aku ucapkan saat berpapasan dengannya. Dia tersenyum. Mungkin malu. “Kamu nggak sendiri.” lanjutku.

Dari kejauhan aku meliriknya, ia bercakap-cakap dengan temannya itu. Banyak tersenyum. Aku tahu mereka membicarakanku. Itu  gosip yang paling membahagiakan.

Setelahnya kami berkenalan lebih jauh dan dalam lagi. Aku dan Pratiwi tidak pernah mengucapkan saling cinta. Tidak dengan kata-kata tetapi prilaku. Aku tidak pernah bermasalah dengan itu. Yang terpenting, perasaanku tidak jatuh sendirian.

Aku ingin memberi tahu hal; ini bukan masalah seseorang yang bingung memilih masa lalu atau masa kini. Tetapi tentang hal yang sederhana; celengan babi.

Suatu sore, tiba-tiba saja Kian menemuiku di kontrakan. Aku sudah wisuda dan bekerja sebagai karyawan biasa di perusahaan makanan ringan. Dia tahu alamatku dari teman lama. Datang dengan penuh penyesalan dan minta maaf—ada menangisnya juga.

“Aku—“ Masih ragu. Aku ingin bilang bahwa aku sudah punya pacar. Tetapi, dia lebih dulu mengeluarkan sesuatu dari tas. Ya, celengan babi.

“Tabungan ini kukira sudah cukup. Bisa kita pecahkan sekarang?”

Dia mulai menghitung mundur bahkan sebelum aku menjawab iya atau tidak. Dan setelah hitungan ke satu, ia menjatuhkan celengan itu di lantai. Pecah! Babi itu mengeluarkan banyak uang. Dia tidak menatap celengan yang pecah itu. Matanya berair, ia menggeleng-geleng seakan kecewa.

Aku masih menggenggam erat celengan itu. Beberapa detik kemudian dia pergi. Sebelum pergi dia mengatakan; sebelum menemui kamu, aku sudah menemui Pratiwi.

Pelan-pelan, aku memunguti uang yang berserakan itu dan segera menelepon Pratiwi.

“Saya sudah tahu semuanya. Termasuk tentang Kian,” katanya, “Kamu jangan ke kontrakan saya. Karena itu sia-sia. Saya sudah menulis alamat tempat saya tinggal sekarang di kertas kecil. Kertasnya saya masukkan di celengan jelekmu itu.”

Tut. Dia mematikan teleponnya. Aku belum berkata sepatah kata pun.

Besoknya aku berjalan-jalan di pasar dan tidak sengaja melihat celengan babi—sama seperti punyaku, dijual di salah satu toko. Uang Kian, segera aku kembalikan.

*

Hujan di luar masih deras. Lilin membakar dirinya sendiri dan sebentar lagi nyalanya akan padam. Celengan babi itu masih utuh, entah berapa jumlah uang di dalamnya. Aku menyalakan lampu kembali. Banyak nyamuk. Diana—istriku yang sedari tadi mendengar penuh perhatian, tersenyum.

“Masa lalu yang indah,” katanya, “kadang hal-hal sederhana memiliki kenangan yang rumit juga hebat, ya. Tapi, kenapa kamu nggak pilih salah satu dari mereka?” tanyanya.

“Sederhana; karena mereka bukan kamu,” Aku tersenyum menggenggam tangannya, “sekarang giliranmu, amplop yang kamu pegang itu, bagaimana kenangannya?”

Dia menarik napas panjang.

“Dulu…” Diana berdehem, “dulu, aku lesbi.”

Aku kehilangan kata-kata. Gempa bumi di dalam diri.

“Aku bercanda, lho,” Diana menyerahkan amplop itu kepadaku, “aku hamil, Mas.”

2 comments:

Terimakasih udah ngeluangin waktunya buat baca ini. Sebelum pergi, baiknya tinggalkan jejak. Jejak untuk dikenang. Dikenang keindahannya. Jadilah tak terlupakan. Silakan coret kalimat di kolom komentar. :)