Alasan Ayah Tidak Menikah

16:23 Unknown 2 Comments

foto by Google

Aku mencintainya tanpa bisa diukur dengan luas samudra, kedalaman laut atau ketinggian puncak Everest. Semuanya itu tidak lebih dari debu dibandingkan dengan cinta yang kumiliki ini.

Dengan cinta, aku bisa terbang menembus langit paling tinggi juga bisa jatuh ke paling dasar perut bumi.

Tapi di keduanya, kamu hadir menyelamatkanku.

Hari ini adalah hari yang sudah ditentukan jauh-jauh hari sebelumnya; saat kita berjalan santai bersama pada pagi yang sejuk di sepanjang jalan yang dipayungi pepohonan. Ayah tak menyangka pertumbuhan usia kamu seperti laju kereta api yang amat cepat, tak terasa dan tiba-tiba saja sudah sampai. Kamu akan segera menikah, dan itu artinya ayah bakal kembali sendiri. Sepi; melakukan segala sesuatu yang tak melibatkanmu.

“Aku akan sering-sering mengunjungi Ayah. Ayah tenang aja.” katamu saat kita beristirahat di bibir jalan.

Kesepian seperti apa yang bikin tenang, Nak? Karena rindu lebih banyak dinas di waktu sepi. Meskipun ayah sudah tua, tapi masih tahu jarak Jakarta dan Bali bukan sepanjang lengan.

“Tenang? Memang ayah kelihatan panik, ya?”

Kemudian kamu tertawa, anak gadis paling manis. Andai kamu tahu, seberanjak tua apapun dirimu nanti, kamu tetap anak gadis paling manis di mata ayahmu ini. Ayah tersenyum.

“Boleh aku bertanya?”

“Belum dibolehkan saja kamu sudah bertanya, Nak.”

“Aha…iya." Ada sedikit jeda. Sepertinya kamu berpikir. "Kenapa Ayah tidak menikah?”

Pertanyaanmu selalu sulit dijawab. Dari kecil, dari pertama ayah melihatmu, isi kepalamu memang berbeda dengan yang lain. Di kepalamu itu seperti ada buku sebanyak di dunia dikumpulkan jadi satu. Ah, siapa lagi yang bisa meninggikanmu kalau bukan ayahmu ini, Nak. Ayah jadi ingat pertama kali menemukanmu.

Waktu itu umur ayah 30 tahun. Laki-laki bercelana jeans robek. Pemabuk. Tapi, tetap tidak suka makan velg motor. Itu artinya ayahmu ini masih waras saat menemukanmu meski dalam kondisi setengah sadar. Dari kejauhan ayah sudah melihat ada anak kecil berdiri di bibir jembatan jalan panjang. Kamu memegang besi pembatas sembari memandangi sungai deras di bawah. Ayah berpikir kamu akan loncat dan tamat.

Karena itu ayah percepat jalan yang memang sudah sempoyongan itu untuk menyelamatkanmu. Tapi, sesampai di dekatmu, kamu malah santai dan tersenyum kepada ayah.

“Besar nilai Ibu atau nilai surga?” Kamu langsung bertanya seperti itu. Ayah yang melihat tubuhmu berbayang-bayang tertawa terpingkal-pingkal dengan botol bir di tangan. Orang mabuk kamu tanya seperti itu.

“Telapak kaki Ibu itu kan bagian paling bawah. Apa surga serendah itu?” Pertanyaan pertama belum ayah jawab, kamu melempar pertanyaan kedua lagi. Tambah lucu.

“Menurut pemabuk; kenapa surga ada di telapak kaki Ibu?”

Pertanyaanmu yang terakhir membuat ayah terdiam. Bir di tangan jatuh dan pecah di aspal. Bersamaan itu juga ada kepingan-kepingan yang berserakan di dalam diri bernama kenangan yang ayah coba pungut kembali. Kamu sekejap membuat ayah mengenang. Dan ayah merasa menemukan cinta di depan mata. Cinta baru yang bertubuh mungil dengan baju gaun dan senyum amat manis. Lalu ayah bawa pulang dengan bergandeng tangan.

“Aku diturunkan Ibu dari mobil dan ditinggalkan di tengah jalan itu. Ibuku, surgaku. Aku kehilangan itu.” ceritamu saat kita sudah sampai di rumah.

“Berapa umurmu?”

“7 tahun.”

“Wah…kamu besok masuk sekolah. Malam ini, ayo kita cari Ibumu!” Ayah menarik lengan mungilmu itu. Tapi, kamu berusaha menahannya.

“Aku paham dan mengerti. Ibu sudah membuangku. Itu artinya, aku tidak ada artinya lagi.”

Kata-katamu menghilangkan kata-kataku. Tak ada lagi yang bisa ayah katakan dalam keadaan sedikit mabuk itu. Ruangan dikuasai keheningan. Hanya ada bunyi kipas angin.

Dan selanjutnya ayah mengangkatmu menjadi anak. Kamu bilang kamu yang beruntung. Tapi, sebenarnya ayah, sayang. Kamu mengajarkan pada ayah agar tidak kalah dengan hidup.

“Kenapa kamu mau tinggal dengan saya?” tanya ayah suatu ketika. Ayah ingin mendengar jawaban yang mengejutkan dari bibir mungilmu itu.

“Karena pemabuk itu tidak ada yang mengurusi. Hehe.”

Kamu berhasil membuat ayah senang.

“Ayah?” Kamu mengibaskan tangan, menyadarkan lamunan ayah. “Aku serius. Kenapa ayah tidak menikah? Ayah masih tampan, kok.”

Kamu meraba wajah ayah. Pertanyaan ini sama sekali tidak menarik.

“Ayah akan ceritakan di hari Sabtu. Pulang, yuk! Ayah pingin ngopi.”

***

Hari ini adalah hari yang sudah ditentukan jauh-jauh hari sebelumnya. Hari ini adalah hari Sabtu. Kita sudah duduk santai di kursi sederhana sembari menunggu matahari terbenam. Sudah ada dua gelas kopi di meja. Kamu diam saja. Ayah bingung harus memulai cerita dari mana, Nak. Ayah bukan penulis sepertimu.

“Jadi, gimana ceritanya, Yah?”

Nah, kenapa tidak bertanya dari tadi.

***

Pada waktu SMA, ayah menyukai perempuan. Namanya Nina. Ia perempuan paling pintar di kelas. Dan yang lebih penting, ia pintar merawat senyumnya untuk ayah. Hari-hari sekolah ayah amat membahagiakan, tapi berhenti manakala tiba kelulusan.

“Aku tidak kuliah di Jakarta. Keluarga kami akan pindah.”

Hati ayah menciap-ciap. Tidak ingin. Tapi, tidak ada yang bisa dilakukan. Ayah mengangguk. Pasrah.

Setahun kami masih berkomunikasi dengan baik meski dalam jarak. Tapi, di bulan berikutnya ia minta putus.

“Ini nggak adil!” Ayah protes.

“Ibu yang menginginkannya. Aku nggak bisa nolak kalau Ibu yang minta.”

“Oke, kita bubar. Berhenti pacaran. Tapi, kita masih bisa berkomitmen. Kita masih satu rasa.”

“Untuk apalagi?”

“Kenapa masih tanya, sih?”

“Pacaran atau nggak, dua-duanya enggak ada artinya lagi. Pada akhirnya aku nggak menikah dengan kamu. Aku sudah dijodohkan.”

Ayah gelimpangan mendengarnya. “Kapan?”

“Minggu depan.”

“Saya akan ke sana.”

“Untuk apalagi, sih?”

Ayah memutus panggilannya. Minggu depan adalah waktu yang amat mepet jika ingin mengumpulkan uang untuk membeli tiket pesawat. Ayah tidak mampu. Maka pernikahan itu tidak jadi kacau. Malah sebaliknya; pernikahan mereka meriah dan membahagiakan. Kata teman ayah.

***

“Kemudian Ayah frustrasi dan menjadi pemabuk?” katamu menerka.

“Kemudian ayah menemukanmu.”

“Dan pensiun jadi frustrasi,” Kamu meneruskan.

“Dan pensiun jadi pemabuk,” Ayah menambahkan.

“Ayah sangat mencintai perempuan itu, ya?”

Ayah mengangguk. “Ayah sangat mencintaimu.”

***

Di hari pernikahanmu segalanya berjalan dengan amat lancar. Keluarga baru kita amat berbahagia dengan pernikahan ini. Diam-diam ayah keluar dari kerumunan dan mencari tempat untuk menyendiri. Menyalakan sebatang rokok dan menikmatinya pelan-pelan.

“Aku minta maaf,” kata Ibu mertua barumu yang diam-diam mengikuti ayah dari belakang.

“Semua sudah terjadi. Nggak ada yang salah, Nina.”

“Nggak ada juga yang bener?”

“Tuhan?” Ayah tersenyum. “Menuruti perintah Ibu itu hal yang baik. Buktinya pernikahan kamu membahagiakan.”

“Menurutmu; kenapa surga terletak di telapak kaki Ibu?”

Pertanyaan ini lagi. Pertanyaan sebelum Nina memilih menikah. Pertanyaan ini juga yang membuat ayah mengangkatmu menjadi anak.

“Karena yang ada di hati Ibu; itu kita.”

“Kenapa kamu nggak menikah, Dimas?”

“Karena kamu menikah, Nina.”

Ayah mengakhiri riwayat rokok yang belum tandas. Tak kuat ayah mengobrol dengannya. Itulah alasan ayah tidak menikah.

Aku mencintainya tanpa bisa diukur dengan luas samudra, kedalaman laut atau ketinggian puncak Everest. Semuanya itu tidak lebih dari debu dibandingkan dengan cinta yang kumiliki ini.

Dengan cinta, aku bisa terbang menembus langit paling tinggi juga bisa jatuh ke paling dasar perut bumi.

Tapi di keduanya, kamu hadir menyelamatkanku, Anakku.

Aku tak terbang terlalu jauh, juga tak hancur di dalam jatuh.

Selamat menikah, berbahagialah bahkan sampai maut pun tak bisa menghentikan.

2 comments:

Terimakasih udah ngeluangin waktunya buat baca ini. Sebelum pergi, baiknya tinggalkan jejak. Jejak untuk dikenang. Dikenang keindahannya. Jadilah tak terlupakan. Silakan coret kalimat di kolom komentar. :)