Menulis Hujan

16:03 Unknown 5 Comments



Kenangan itu serupa langit yang menurunkan hujan; tak bisa dicegah, tak bisa dihentikan. Dinikmati saja sampai ia reda dengan sendirinya.

Aku tidak menulis kisah orang lain. Aku menulis kisah Hujan; pemuda yang menjalani proses rumit dalam hidup.

1.

Di usia TK, ayah Hujan pergi meninggalkan ia dan ibunya untuk menikah lagi. Sehari setelah kepergian ayah dari rumah; ibunya gantung diri. Jadilah, kakek dari ibunya yang mengurusi.

“Kenapa saya diberi nama Hujan? Nama yang aneh.”

“Mulutmu itu!” kakek menjawil bibir mungilnya. “Hujan itu rezki Tuhan yang suci. Mutlak.”

“Tapi, Mbah Laseh bilang; hujan bisa bikin sakit.”

“Tidak semua. Yang bikin sakit itu hujan panas. Hujan waktu langit sedang cerah-cerahnya. Hujan panas itu pertanda ada yang meninggal. Kamu bukan hujan jenis itu. Kamu hujan setelah kemarau bertahun-tahun. Berkah.”

Hujan ingat betul percakapan waktu itu. Esok siangnya, air hujan jatuh saat langit sedang cerah-cerahnya. Tepat setelah kuburan kakek ditaburi bunga. Langit ikut sedih atas kematian kakek. Maka, Hujan harus rela diasuh oleh Made, teman ibunya di Bali. Dari sana, ia dewasa dengan melukis.

Tapi, semakin berjalan usia, ia merasa ada yang tak beres dalam hidupnya. Ia selalu mengenang masa lalu dan banyak memikirkan hal yang belum terjadi. Dalam dirinya, tak pernah ada yang namanya kini. Seperti pada pagi ini, ia sembunyi di antara dua batu karang besar di bibir laut dengan satu buku novel setebal 4.215 lembar di genggaman. Terbaca In Search of Lost Time, Marcel Proust. Dua tahun yang lalu, Rena—pacarnya yang memberikan novel itu.

“Maaf,” kata Hujan menolak sopan, “kamu tahu saya nggak suka baca yang terlalu panjang. Daripada buku ini jadi debu atau dimakan rayap. Sia-sia.”

“Cuma 4.215 lembar, kok.”

“Hah?” Ribuan lembar dibilang cuma. Untung saja Rena kekasihnya. Hujan mengusap dahi yang sudah berkeringat dari tadi. Ombak laut mengisi jeda percakapan mereka.

“Kamu harus hargai penulisnya, dong!” Rena kembali menyodorkan buku itu. Hujan tak langsung menerimanya. Ia menatap Rena dalam, hampir tenggelam.

“Setelah menikah, kamu beneran langsung cerai, kan?”

“Terima dulu bukunya. Satu hari baca satu lembar.”

Terpaksa, Hujan menerima.

“Ya, kan, Ren?” Hujan mengulang lagi.

2.

Perbedaan selalu dipermasalahkan dan didebatkan. Tak ada habis-habisnya. Malah, dari sana timbul hati yang terluka. Di ruang tamu berdekorasi klasik, kursi ukiran lama yang mengkilap dan bau kayu cendana tanda rumah sudah tua, perbedaan itu ditampakkan.

“Saya serius menjalin hubungan sama anak Bapak. Dan saya siap menikahinya.” ikrar Hujan di depan keluarganya (pada saat itu ada kedua orang tua, dua kakak perempuan beserta suaminya dan satu orang tak Hujan kenal)

“Bapak hargai maksud kamu. Tapi...” Tak pernah ada yang suka mendengar kata tetapi setelah sebuah penghargaan. “Tidak bisa. Kamu belum punya pekerjaan.”

“Saya bekerja sebagai pelukis.”

“Berpenghasilan tetap?”

Semua orang ingin tetap. Tak ada perubahan-perubahan yang tak diinginkan. Tetapi, apa yang tetap? Semuanya bergerak dari detik ke detik. Hujan sangat tersinggung. Ingin dia utarakan pendapatnya itu tapi tak ada kesempatan. Bapak Rena lebih banyak menuding.

“Tidak, kan?” vonis bapaknya. Lebih kepada merendahkan.

Hujan mengangguk positif.

“Tidak cuma itu. Lukisanmu juga belum memiliki pelanggan setia. Ya, kan?”

 Lagi, Hujan mengiyakan.

"Ini Bayu," Ditampilkan orang yang tak dikenal Hujan di percakapan itu. "Dia pengusaha batu bara. Muda, mapan dan sukses."

Hati Hujan pilu. Ia sudah cukup tahu bahwa ini penolakan kasar.

"Kalau boleh tahu; apa cita-cita Bapak sewaktu kecil?" tanya Hujan ramah. Bapaknya tertawa.

"Pilot. Kenapa?"

"Tidak terwujud, kan?"

Pernyataan itu menghadirkan keheningan paling sunyi. Hujan beranjak dari kursi dan lantas pergi. Ketika Hujan keluar dari rumah Rena, terbesit harapan agar langit yang sedang cerah-cerahnya itu menurunkan hujan. Pertanda untuk Bapak Rena. Tapi, sayangnya itu tak terjadi.

3.

Di antara dua batu karang itu, Hujan mengenang Rena lagi. Selalu. Pagi ini, ia sudah membaca sampai halaman 4.215, yang itu artinya; hari ini ia mengkhatamkan novel terpanjang yang pernah ia baca. Meskipun banyak kata dan kalimat yang tak ia mengerti.

Hujan berjalan mendekati air laut. Suara keras debur ombak yang menghantam batu-batu karang tak juga bisa meredam kenangan yang berputar di kepalanya itu. Lagi, seperti hujan, kenangan itu jatuh tanpa bisa dicegah.

“Setelah menikah, kamu beneran langsung cerai, kan?”

“Terima dulu bukunya. Satu hari baca satu lembar.”

Terpaksa, Hujan menerima.

“Ya, kan, Ren?” Hujan mengulang lagi. Rena berjalan menjauhi Hujan. Sesekali ia menendang air laut entah untuk apa. Hujan mengejar. Mendapati tangan Rena.

“Jawab, Ren.”

“Aku tidak tahu.”

“Apa harus saya yang kasih tahu cara agar bercerai? Atau yang mengurusi perceraian? Apa susahnya, sih, buat kesan calon suamimu itu bersalah agar hubungan kalian berantakkan?”

“Aku pasrah, Sayang. Jalani apa yang ada sekarang. Jadi lakon.”

“Lalu untuk apa kamu ke Bali, ke sini, nemui saya?”

“Perpisahan.”

Perlahan, Rena melepaskan diri dari genggaman tangan Hujan. Sebaliknya, ego Hujan untuk memiliki Rena, masih kuat, tak mudah dan tak mau lepas.

“Kita mesti sama-sama belajar untuk nggak mengharap apapun saat mencintai atau memberi. Cuma itu satu-satunya cara biar nggak ada yang namanya patah hati. Kecewa.”

“Nggak bisa, Ren. Semua udah terlanjur.”

“Belajar, Sayang.”

“Jangan panggil 'sayang' kalau pada akhirnya kita nggak bisa bersama. Kamu tahu, ini menyakitkan, Ren.”

“Ya. Kita nggak bisa bersama,” Rena lebih dulu menitikan air mata. “Nggak akan pernah!”

Kemudian Rena meninggalkan Hujan sendirian bersama remah-remah kehancuran. Langit berubah mendung. Tak perlu hitungan menit, ia menumpahkan kesedihan. Air dari langit dan air dari kedua mata Hujan saling berlomba; siapa yang lebih dulu reda?

4.

Tamat.

Novel yang dibaca Hujan akhirnya selesai juga. Tak ada tulisan Rena di selembar kertas pada bagian akhir novel itu. Tak ada jejak apa-apa yang ditinggalkan Rena dalam buku itu. Juga tak ada kabar tentang Rena setahun ini. Lagi-lagi harapan Hujan patah. Sunyi di dalam hatinya terasa tambah nyeri. Perpisahan itu benar-benar menjadi yang terakhir antara mereka. Dan buku tebal yang ada di tangan, tak cukup menyembuhkan lukanya.

Hujan mendekati air laut. Siapa tahu, laut bisa melarutkan kepedihannya itu.

Tiba-tiba, langit yang sedang cerah-cerahnya menurunkan air hujan. Ini yang namanya hujan panas kata kakek tempo dulu.

Tapi, siapa yang meninggal?
 

Tanpa tersadar, Hujan sudah mendekati air laut sampai seluruh tubuhnya tenggelam.

Aku tidak menulis kisah orang lain. Aku menulis Hujan; pemuda yang menjalani proses rumit dalam hidup.

5 comments:

  1. Pembukaan cerita yang oke.

    Aku tidak menulis kisah orang lain. Aku menulis kisah Hujan; pemuda yang menjalani proses rumit dalam hidup.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thanks, Mbak sudah mampir. Jgn kemana-mana lagi. Apaan ini. Abaikan!

      Isi dan penutup gimana, Mbak Wignya? :))

      Delete
  2. wuihh keren Mas. ceritanya padat, tapi dibacanya enak, ngalir gitu kayak hujan yang turun dari genting ;p

    ReplyDelete
  3. Hujan... wah, bahaya juga kalau Hujan men-judge namanya sebagai pertanda kematian.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Klo mitos di sini, hujan panas itu katanya ada yg meninggal. Langit sedih. Gitu sih mitosnya.

      Delete

Terimakasih udah ngeluangin waktunya buat baca ini. Sebelum pergi, baiknya tinggalkan jejak. Jejak untuk dikenang. Dikenang keindahannya. Jadilah tak terlupakan. Silakan coret kalimat di kolom komentar. :)