Cerpen Cinta Terbaru: Hujan Kembali

Cerpen Romantis Terbaru: Hujan Kembali

Cerpen Cinta Terbaru: Hujan Kembali

“Jangan bercanda Ter! Ini bukan game!” jerit Vi

Mataku tetap melihat ada stage dalam dirinya. Dan setiap stage mesti diselesaikan jika ingin menuntaskan permainan. “Bukankah sebuah permainan harus diselesaikan agar tak penasaran?”

***

“Tera, berhenti bermain game! Coba kamu keluar dari kamarmu itu, hidup ini indah, Nak. Hanya saja kamu belum mengenal sepenuhnya.” Suara bunda dari luar kamar

“Ya, bunda. Aku tahu.”

Bunda seringkali bicara seperti itu. Apakah bunda mengatakan hal yang benar? entahlah. Tapi menurutku, di luar sana tak ada hal yang menyenangkan yang bisa didapatkan. Pun jika ada hal yang menyenangkan pasti setelahnya dapat membuat orang menjadi gila. Aku serius. Aku pernah hampir gila karena hal itu.
Namanya cinta.

Bagaimana tidak gila, jika cinta membuat kamu merasa ingin memiliki kepada seseorang yang dia tak merasa hal yang sama sepertimu atau dia merasa hal yang sama, tapi kepada sahabat baik kamu. Ya, aku ingat betul bagaimana sahabatku sendiri mencintai orang yang juga aku cintai.

Aku ingat betul ketika aku siap memuntahkan rasa dengan persiapan romantis sejauh yang bisa aku lakukan. Beberapa bunga mawar yang telah dirangkai, menyanyikan lagu yang aku ciptakan sendiri dan tempat yang indah untuk 2 orang yang saling mencinta yang telah aku persiapkan bersama sahabatku. Hanya untuk perempuan yang aku cintai, Gladis.

“Aku mencintaimu, Gladis.” Perempuan itu hanya mengangguk-angguk. Isyarat mengiyakan. Wajahnya gembira sekali. Tersenyum manis. Tak perlu menunggu waktu, langsung mencium keningnya. Aku melihatnya dari kejauhan. Kujatuhkan mawar itu dari genggaman. Karena aku tahu, mawar itu telah kehilangan makna.

Kau tahu? Seharusnya aku yang mengatakan itu. Dan seharusnya hanya boleh aku dan Gladis di tempat indah itu. Tapi tak ku sangka sahabat baikku lebih dulu melakukannya. Dan celakanya, Are memenangkan hatinya. Sakit? lebih dari itu. Bagaimana mungkin, sahabat yang bertahun-tahun selalu bersama, yang tak bisa menahan rahang untuk tertawa dengan kegilaan-kegilaan bersama bisa menghancurkan dan membangun kebencian dalam sekejap? Logika memang tak pernah akrab dengan cinta. Persahabatan kami? Jangan kau tanya lagi. Mulai hari itu, sudah berakhir.

Atau bagaimana tidak gila, jika cinta akhirnya mengizinkanmu memiliki, tapi setelahnya kau dihadapkan kepada kehilangan. Aku pernah merasakan semua itu. Kehilangan orang yang tak mencintaiku dan kehilangan orang yang aku cintai. Jadi di luar sana sangat berbahaya. Lebih baik kau seperti aku, di dalam kamar, mencintai game. Ya, game. Game tidak akan meninggalkanmu. Game juga tidak akan pernah menolak keberadaanmu. Dalam game kamu bisa melakukan apa-apa tanpa takut karma. Seperti sekarang, aku sedang memainkan game yang berperan sebagai polisi. Tugasnya, menangkap penjahat besar dengan cara apapun, termasuk membunuh. Kau bisa membunuh tanpa tuntutan hukum, seru bukan!?

“Tera, keluar sebentar! Ini ada temanmu.” panggil bunda dari luar kamar

Teman? bunda membual. Semenjak Are mengkhianatiku, aku tak punya teman lagi. Dan sudah 2 tahun ini aku memiliki dunia baru. Ya, game dalam kamarku. Jadi tak mungkin aku punya teman, karena aku telah meninggalkan dunia bahaya itu.

“Bunda gak perlu berbohong. Jika Tera sudah jenuh dengan hal ini, Tera akan keluar.”

Tak…tak…tak…

Itu suara sepatu Bunda mendekat. Parfumnya sudah sampai lebih dulu di kamar ini, menyebar, kemudian menyangkut di hidungku. Tapi aku tak peduli. Biasanya bunda mencoba berbagai cara untuk memisahkanku dengan game ini. Dari cara membujuk dengan perkataannya, sampai mengiming-imingiku dengan sesuatu yang tak pernah kusuka. Ternyata langkah bunda lebih cepat dari yang kuperkirakan. Bunda sudah di depan pintu kamar yang sedari tadi terbuka

“Bunda gak bohong, Nak…” Mata beningnya menusuk,  membuatku menghentikan sejenak bermain game “Kemari, Nak!” bunda memanggil seseorang

Sosoknya tinggi, tapi tetap tak mengalahkanku. Rambutnya terurai, keriting bak gelombang laut yang indah, matanya bulat sama seperti mata bunda, bening. Atau jika aku boleh jujur, lebih bening dari mata bunda. Harumnya? masih kau tanya? sejauh ini wanginya mengelilingi tubuhku lalu menggodaku. Ternyata iklan itu tak berbohong.

“Vi…?”

“Hai,” sapa wanita itu “Bagaimana kabarmu, Tera?”
Suaranya lembut, masih sama seperti 2 tahun yang lalu. Vi. Mantan ku, yang sebelumnya tak pernah ada lagi dalam angan untuk kembali, tapi sekarang dia kembali. Saat itu aku putus asa.
Bagaimana tidak, ketika kamu benar-benar mencintai seseorang tepat pada saat seseorang itu akan pergi. Vi pindah keluar pulau, dan celakanya Vi tak suka LDR. Alasan paling ku benci untuk mengakhiri. Tapi entah kenapa, aku suka melihat Vi kembali. Tiba-tiba aku lupa tentang Vi yang pernah menyakiti.

“Vi… aku baik. Bagaimana denganmu?”

“Sama sepertimu. Diluar hujan, apa kau masih mencintai nama itu, Tera?”

“Tentu, Vi.”

Bakti hujan itu membasahi. Memudarkan kekeringan, memperlihatkan kesuburan. Aku menyukai Vi karena dia juga menyukai hujan. Vi adalah hujan, membasahi hatiku yang kering, memudarkan luka, menawarkan bahagia. Vi adalah hujan, sebuah titik-titik air yang menumbuhkan kesegaran pada tanaman yang hampir layu. Ya, Vi memang pernah melukai, tapi apa kau tahu? Setelah hujan, bakal ada pelangi. Jangan lupakan itu.

“Apa kau sudah lama tak merasakan air kecil dari langit ini, Tera?” wajahnya sangat gembira, ia melompat-lompat, berlari mengelilingi keberadaanku, sedangkan aku hanya berputar-putar melihat kemana ia berjalan, dan terakhir ia membuat cipratan tepat di depan ku.

“Lama sekali, Vi. Bahkan aku hampir lupa,” aku menangkap kedua tangannya. Menatap matanya lekat-lekat. Ia berhenti.
“Aku terlalu sibuk melupakanmu, Vi.” Ia masih memandangiku. Tak ada ucapan, wajahnya sangat manis.

“Hujan sudah berhenti, Ter. Ayo kita pulang!”
Vi seperti menyimpan sesuatu. Apakah Vi tak mencintai aku lagi? Aku tak bisa membaca hati seseorang. Tapi aku yakin Vi kembali bukan untuk pergi. Benar kan? Tolong jawab ya, agar hati tak terluka lagi…

***

Seperti masa-masa kita pacaran dulu, sehabis mandi hujan, kita bersama-sama memasak mie kemudian menonton dvd, drama korea. Vi suka dengan film itu. Aku tak seberapa tapi karena Vi yang menyukai, aku belajar untuk menyukainya juga. Kau tahu? Cinta tak menuntut kita merubah kebiasaan, tapi cinta menuntun kita terbiasa untuk saling cinta dengan cara cinta itu sendiri.

Vi tampak menikmati mie dan filmnya, sekejap aku merebut remot dan mengecilkan volume suaranya sampai angka nol.

“Apa yang kau lakukan, Ter. Ah, mulai resehnya.”

“Sayang, kamu jangan marah,” aku seakan mencoba meniru percakapan laki-laki dan perempuan yang saling menatap di film korea itu. Vi hanya tertawa melihatku. “Apaan sih, Ter.” Katanya berulang-ulang

“SIAPA JUGA YANG MARAH. IH, ANEH!” kata Vi melanjutkan kekonyolan ku.

Sekejap ruangan itu pecah dengan tawa kita. Tak terasa mie dan film itu telah habis. Aku mengenggam tangannya, menatap kedua mata beningnya. Tapi kemudian hal tak enak terjadi.

“Aku masih mencintaimu seperti dulu, Vi. Apa perasaanmu sama?” tanya ku serius. Menunggu jawabannya lebih tegang dari pengumuman kelulusan SMA.

“Ter, maafkan aku. Sebenarnya aku kesini ingin memberi ini.” Vi mengeluarkan sesuatu dari tas nya. Secarik kertas yang menurut banyak orang kertas paling membahagiakan. Undangan pernikahan. “Maafkan aku, Ter.”

Aku beku. Tiba-tiba rasa kehilangan itu kembali lagi. Merobek hati yang aku simpan rapih-rapih sejak 2 tahun lalu, dan mencoba membuatku menjadi gila lagi.

“Aku bisa membawamu pergi, Vi!”

“Maafkan aku, Ter. Itu tidak mungkin! Aku tidak bisa. Tapi aku rela tubuh ini lebih dulu kau miliki sebelum laki-laki pilihan ayahku itu.”

“Jangan gila, Vi!” Sentak kemarahanku memuntah, tak pikir panjang aku pergi kekamar meninggalkannya sendiri, membawa kertas undangan itu, dan dengan terpaksa membawa hati yang terluka untuk sekian kalinya. Dan ternyata cinta bisa membuat seseorang ketakutan, untuk mengambil tindakan. “Kau penakut, Vi. Padahal sebenarnya cinta memberimu banyak nyali.”

***

15 Mei 2014 . Hari pernikahan Vi.

Aku sudah berada diantara kerumunan orang yang memiliki tujuan yang sama. Menghadiri sebuah pernikahan. Yang berbeda, mereka merasa bahagia sedangkan aku harus menelan pahit-pahit kehilangan lagi. Acaranya sudah dimulai, Vi berjalan berlawanan bersama kedua orangtuanya dari tempatku berdiri. Vi sangat cantik bak putri salju dalam dongeng lama itu. Sekarang ia sudah berada di samping pengantin laki-laki. Are Karya Pratama. Kaget? Ya, orang yang merebut hal yang aku cintai untuk kedua kalinya. Di kursi, meja bundar berlapis kain putih  suci, dalam ruang lumayan besar, aku muak melihat wajahnya.

“Saya nikahkan Devi Indah Utami binti Pratowo Utama kepada Are Karya Pratama dengan mas kawin dan seperangkat alat sholat dibayar tunai.” Ucap penghulu dengan tegas yang dari tadi menjabat tangan Are.

“Saya terima nikahnya Devi Indah Utami binti Pratowo...”
Aku menutup telingaku rapat-rapat, memejamkan mataku lekat-lekat berharap ini adalah mimpi buruk atau jika bukan mimpi, aku berharap ada keajaiban dari Tuhan yang membuat hal ini kacau balau, sehingga tak terdengar ucapan “sah” itu. “Aku mohon ya, Tuhan. Aku mencintainya” lirihku

“Sah” serempak mereka mengucapkan kata yang paling menyebalkan dalam hidupku untuk sekarang. “Sial” batinku. Terpantul wajah bahagia di keluarga kedua mempelai itu. Tapi, aku tak melihat bahagia itu pada wajah Vi. Ia tersenyum tapi sedikit terpaksa. Aku tak bisa melihat Vi seperti itu. Aku mendekat, mempercepat langkahku. Aku tahu banyak mata yang menduga kejahatanku, tapi aku tak peduli. Beruntung aku melihat sebuah garpu di meja bulat lainnya yang mungkin seharusnya digunakan untuk mengambil makanan kecil. Menyembunyikan benda itu. Aku sudah di hadapan Are.

“Bagaimana kabarmu, Are? Sudah lama tak bertemu.”

“Tera? Bagaimana bisa?”

Tak menyiakan kesempatan, aku menarik tangan Are lalu menguncinya seperti yang biasa aku lakukan saat bermain game. Sekarang kedua tangannya tertekuk ke belakang dan garpu telah berdiri ke arah lehernya. Aku berhasil mengubah ruangan yang nampak bahagia itu menjadi sesuatu yang menegangkan. Seluruh kesibukan tiba-tiba berhenti, fokus melihatku. Ada yang histeris, ada yang menutup mulut yang mangap, dan ekspresi ketakutan lainnya.

Are mencoba memberontak. Sia-sia. Keringat dingin penuh di wajah Are. Keluarganya? Aku ancam, jika sedikit saja bergerak nyawa anaknya akan hilang.

“Jangan bercanda Ter! Ini bukan game!” jerit Vi

Tetap sia-sia. Mataku melihat ada stage dalam dirinya. Dan setiap stage mesti diselesaikan jika ingin menuntaskan permainan.
“Bukankah sebuah permainan harus diselesaikan agar tak penasaran?”

“Aku bercanda, Are, sahabatku.”

Aku melepasnya, seluruh manusia di ruangan itu lega, tak terkecuali Are. Terdengar suara nafas yang beberapa menit sempat ditahan. Hembusannya sangat terasa menyentuh kulit. Ada yang mengelus dadanya, ada yang menemukan jantungnya berfungsi dengan baik lagi, ada yang sedikit memberi senyum, dan tak ketinggalan, ada juga yang mengumpat. Aku masih berada di hadapan Are. Dan tak pikir panjang…

Garpu telah menancap di lehernya. “Maafkan aku, Vi. Aku tak bisa membiarkannya hidup.” hatiku

Aku segera berlari keluar ruangan, menggunakan kesempatan saat semua manusia-manusia ini membeku, tak menyangka aku tetap melakukannya.

Penjara

”Are meninggal, Ter.” Kata Vi menceritakan. “Seharusnya kau tak sampai membunuh,” Vi menangis. “Aku akan menunggumu sampai kamu keluar dari tempat ini. Jika ada cara agar aku bisa bersamamu disini, beri tahu aku, Ter!”

Aku menggeleng-gelengkan kepala. Meminta maaf berulang-ulang, meskipun kejadian itu tak bisa terulang. Aku menyesal, sepertinya bukan Vi yang takut, tapi aku. Aku takut kehilangan lagi, itu alasan aku membunuh. Aku menyesal. Menangis.

“Seandainya pencuri hati adalah pelanggaran hukum, kau bisa menemaniku disini, Vi.”


1 comment:

  1. asli.. tegang banget aku baca ini, ga bisa ngomong apa2.. cerpen mu seperti "hidup" mas, aku ngerasa kaya bukan baca, tapi seperti melihat langsung dari cerita-cerita mu, hebat!! keep posting ya mas

    ReplyDelete

Terimakasih udah ngeluangin waktunya buat baca ini. Sebelum pergi, baiknya tinggalkan jejak. Jejak untuk dikenang. Dikenang keindahannya. Jadilah tak terlupakan. Silakan coret kalimat di kolom komentar. :)