Cerpen Cinta Lucu: Pesan Naila

17:34 Unknown 2 Comments

Cerpen Romantis Terbaru: Pesan Naila


Cerpen Cinta Lucu: Pesan Naila

Kau tahu? Yang memberatkan hati bukan saat kamu ditinggalkan seseorang yang kamu cintai, tapi saat kamu melepas orang yang benar-benar mencintaimu.

    Tunggu di tempat biasa. Sebentar lagi aku ke sana. Kali ini penting.

Itu pesan dari Naila. Mahasiswi yang sebentar lagi akan wisuda. Perawakannya nanti akan kuceritakan setelah dia sampai di sini. Ya, di café ini. Menurutku café ini seperti gedung tua yang bertingkat. Tak mewah, benar-benar bernuansa klasik. Mejanya saja dari bambu, alasnya kaca. Jika aku boleh menerka, tebal kacanya 2.5 centimeter. Yang unik dari café ini, lampunya remang-remang seperti… ah sudahlah. Di sebelah sana ada beberapa jendela kayu yang terbuka. Tapi, ada yang aku suka dari café ini. Di bawah terdapat toko buku. Jadi, di café ini kita bisa bersantai sambil membaca buku. Konsep yang bagus, café di atas toko buku.

Aku menunggunya di meja nomor 2. Bukan mau aku, tapi Naila. Dia suka angka 2. “Angka 2 tak pernah merasa sepi. Angka 2 cukup untuk menuangkan perasaan. Angka 2 keindahan yang diinginkan cinta sendirian.” katanya menjawab alasannya. Tapi menurutku, angka 2 juga bisa menyakitkan. Di-2-kan? Hihi.

“Maaf, Mas. Gak nunggu lama kan? Naila sudah sampai. Aku hanya mengangguk. “Udah pesen, Mas?” aku menggeleng. “Oke, aku pesenin dulu.”

Di café ini waiters-nya sedikit. Jadi, jika menunggu waiters menghampiri, terlalu lama. Malam ini pengunjung sedang ramai.

“Cantik bener malem ini? Pantes agak lama, tadi dandan dulu?” ledekku ketika Naila baru saja kembali duduk. Malam ini ia memakai blazer hijau dengan baju putih, rok selutut dengan corak bulat-bulat kecil bewarna putih. Dari bawah, ia memakai high heels berwarna putih dengan tinggi 3 centimeter. Sinkron. Bukan cantik. Sangat cantik.

“Ish… Oh ya, sebentar lagi aku…” Ia memasang wajah gembira sambil menunjukkanku angka 2. Nomor meja ini.

“Apa? Maksudnya?” Aku pura-pura tak mengerti. Mudah-mudahan tak seperti yang ada dalam pikiranku

“Syarif nembak aku…” Ia menutup hidung dan bibir tipisnya dengan kertas nomor meja itu. Malu. “Aku akan menjawabnya nanti,” Ia melihat jam tangannya “Kurang lebih 15 menit lagi kita ketemuan. Do’ain semoga lancar, ya… oke?” Ia memegang tanganku “Kamu setujukan, aku bersama dia. Dia baik kok,” ia memberi senyum. Mengedip-ngedipkan matanya. Menggemaskan.

“Syarif? Ya, dia memang baik,” jawabku malas, padahal sebenarnya aku tak banyak tahu tentangnya. Jika aku boleh meminta, bisakah Tuhan membuat waktu berhenti? Aku suka tangan lembut Naila menggenggam tanganku. Seandainya… aku menjadi Syarif. Sungguh bahagia. Ah… tapi itu tak mungkin.

Syarif bukan aku. Kita tak bisa menjadi orang lain, bukan?

Asap coklat panas mulai hangat terasa, aromanya harum seperti Naila. Memanjakan siapa saja yang mencium aromanya. Pesanan sudah berada di atas meja kami. Setelahnya tak ada obrolan serius. Hanya tentang kuliah, tentang cita-cita dan tentang gebetan yang sebentar lagi akan menjadi pacar Naila, Syarif. Obrolan terakhir adalah obrolan yang memuakkan.

“Eh, Dimas gantian dong cerita. Lagi deket sama siapa? Hayo…” Aku menggelengkan kepala

“Untuk sekarang, sendiri lebih baik,” kataku beralasan

Jeda. Naila melihat jam tangannya lagi, aku tahu dia akan mengatakan apa.

“Dimas, aku harus pergi sekarang. Pokoknya, hari ini hariku. Oke?” jelasnya meletakkan uang bayaran pesanan kami. Aku hanya mengangguk.

Naila menghempaskan rambut bergelombang yang panjang sepunggungnya. Aku memandanginya, pelan-pelan dirinya memudar saat menuruni tangga.

“Jika sudah ber-2, aku harap tak ada yang berubah, Nai.”
Setelah aku membayar, tiba-tiba pikiranku masih pada Naila.
Maka kuputuskan mengikutinya diam-diam. Aku cemburu? Entahlah, yang jelas aku mengkhawatirkannya.

Restaurant

Aku duduk di meja nomor 7. Sedangkan Naila, yah, tentu saja meja nomor 2. Dia memang orang yang konsisten. Restaurant ini seperti restaurant bernuansa mewah. Kursi putih dengan meja bulat yang bersih dengan beberapa lilin di atasnya. Ralat. Bukan mewah, tapi romantis. Ya, romantis seperti mereka berdua yang sudah saling menyuapi. Aku berani bertaruh, mereka pasti sudah jadian. Maka kuputuskan untuk pulang sebelum waiters menawariku menu pesanan.

“Ternyata, sendiri bukan hal yang baik. Karena selama ini aku tidak sendiri, aku selalu berdua. Ya, bersama, Nai.”

***

Mulai hari itu, semuanya pelan-pelan berubah. Naila tak sering bersamaku. Aku mengerti. Ini sudah kuduga sebelumnya. Tapi aku masih belum tahu, ada rasa yang aneh ketika aku sendiri seperti ini. Aku bisa menerjemahkan kata sepi. Sendiri seperti cahaya lilin di bawah matahari, tak berarti. Kurasa aku harus pergi. Dari rumah ini atau dari hidup Naila.

Aku berjalan kaki, menyusuri toko-toko di pinggir jalan. Matahari hari ini sangat terik, aku merasa punggungku seperti di setrika. Sampai akhirnya aku berhenti di toko boneka. Di depan toko ini terdapat kaca transparan yang amat besar. Dari sini kita bisa lihat boneka yang dipajang di dalam. Aku memandang satu boneka doraemon yang menurutku lucu. Boneka kecil doraemon dengan topi angka 2. Tunggu? Angka 2? Naila pasti suka. Aku harus membelinya.

“Eh, Dimas di sini juga,” Suara seseorang dari belakang. Aku mengenalnya. Ya, Naila. “Beli apa? Buat siapa? Ciee… Dimas…”

“Eh, Nai. Iya… nih,” Aku menggaruk rambut yang tidak gatal. Tersenyum kepada Nai. Bukan hanya Nai, ada Syarif yang mengisi rongga jemarinya. “Oh…ya, Nai. Aku duluan… lagi buru-buru.” Aku langsung berlari meninggalkan mereka.
Kau tahu? Boneka doraemon dengan topi angka 2 sepertinya tidak ada guna lagi. Karena boneka beruang yang Syarif beli lebih pantas Naila terima. Setelah keluar dari toko itu, aku membuangnya.

Aku kenapa?

***

Sudah 1 bulan ini aku tak bersama Naila. Tak pernah berkomunikasi, boro-boro mendapatkan senyum perempuan penyuka nomor 2 itu. Aku mengira tak bertemu dengannya adalah solusi melupakannya. Ini salah.

“Naila,” sebutku sambil tiduran di kamar.

    Tunggu di tempat biasa. Sebentar lagi aku ke sana. Kali ini penting.

Pesan Naila. Aku memperhatikannya, apakah ini pesan beberapa bulan yang lalu? Bukan. Pesan ini baru saja masuk. Aargh… akhirnya. Tanpa pikir panjang aku pergi ke café.
Kami sudah berada dari tadi di sini. Naila menangis, bercerita tentang pacarnya. Ralat. Mantan pacar. Aku harus senang atau bagaimana? Yang terpenting Naila tak menyesal memutuskannya.

“Dimas, aku mau nambahin tentang angka 2,” Ia menangis, sudah berapa tisu habis untuk membersihkan air mata dan ingusnya.

“Apa, Nai?”

“Angka 2 kadang menyakitkan. Dia sama aja kayak cowok lain. Tega! Lebih milih cewek lain daripada aku!” katanya kesal

“Daripada syarif milih cowok?” Aku mencoba bercanda

“Ih… gak lucu! Tapi iya juga sih…”

“Di mana kamu ngeliatnya selingkuh?”

“Gak jauh, di gang deket sini,”

Aku menarik lengannya. “Ikut aku.”

Di perjalanan ia mengulang-ulang pertanyaannya. “Mau ke mana sih, Dimas?” Aku sengaja diam. Mudah-mudahan caraku berhasil membuatnya lupa pada orang yang membuatnya menangis sia-sia. Bukankah menangisi orang yang tak pantas ditangisi adalah hal yang sia-sia? Kenapa diteruskan?

“Di sini?” Ia mengangguk, “oke, berdiri di sini. Ungkapin kekesalan kamu sama dia. Anggep dia di depan kamu. Ayo, Nai!” Aku memperhatikannya dari belakang. Tak jauh, hanya berjarak setengah meter. Di sini Syarif menggandeng pasangan barunya saat Naila baru saja pulang dari rumah temannya. Tempatnya seperti jalan biasa yang sepanjang jalan di kanan kirinya terdapat rumah.

“Yakin, Mas? Ini udah jam 12 malem?” Aku hanya mengangguk, yakin. Ia mengikuti.

“Hai, Syarif. Kenapa kamu tega. Padahal aku—“

“Nai, kamu kesel apa mau nembak cowok. Lembut amat!” Aku memotong pembicaraannya.

“HEI, SYARIF! AKU BENCI KAMU! AKU GAK CINTA SAMA ORANG KAYAK AYAM! GONTA-GANTI PASANGAN! KAMU ITU GAK LEBIH BAIK DARI AYAM. KAMU ITU—“ Kali ini bukan aku yang memotong pembicaraannya.

“HEH! TAHU JAM GAK? INI UDAH JAM BERAPA! MIKIR! JERIT-JERIT DI DEPAN RUMAH ORANG…” Orang itu masih nyerocos, tapi aku tak mendengarnya lagi. Naila diam. Memandangku.

Ia bener-bener manis dan lucu. Bawa-bawa ayam. “Sekarang lepas high heels-nya, Nai,” Ia menuruti.

“Lariii!” aku segera menggendong Naila. Berlari. Lari dari amukan warga sekitar, lari dari perasaan yang tak lagi merasa sepi. Aku harus mengatakan hal ini setelah mengantarnya sampai rumah. Naila tertawa.

“Bodoh sekali! Hampir aja di siram air,” katanya mengingat

Tak terasa kami sudah sampai. Angin malam sangat dingin, kaos yang aku gunakan tak bisa menahannya. Tubuhku mulai beku. Tapi mudah-mudahan perasaanku tak begitu.

“Makasih ya, Mas. Good night,” Tangannya melambai. Tersenyum. Lalu membuka pintu rumahnya.

“Nai!” panggilku. Ia menoleh. “Kenapa?” aku mendekatinya.

“Entah ini tepat atau enggak. Aku gak mau terulang aja. Entah kenapa saat kamu pacaran sama Syarif, tiba-tiba aku seperti kehilangan,” Jeda. “Aku suka sama kamu, Nai. Tapi, aku gak perlu jawaban. Aku cuma takut gak sempet bilang sama kamu tentang ini. Maafin aku, Nai.”

Naila langsung memelukku. Lumayan lama. Seakan aku ingin waktu berjalan lebih lambat. Lalu ia melepas pelukannya, mengeluarkan sesuatu dalam tasnya.

“Ini punyamu? Buat aku?” Aku mengangguk. Mengakui.
Sesuatu itu boneka kecil doraemon dengan topi angka 2 yang aku jatuhkan tempo dulu.

“Kita jalanin dulu, Mas,” Naila tersenyum. “Eh, udah malem ini. Kamu pulang gih. Hati-hati ya…” Ia melambaikan tangannya kembali. Tersenyum kemudian masuk ke rumah.

***

Setelah pernyataan Naila tentang perasaannya, kami semakin dekat. Tertawa bersama, jalan-jalan bersama, makan es krim bersama, liburan bersama. Semua indah selama hampir setengah tahun ini.
 “Aku udah nemuin angka 2 yang tepat dan terbaik. Itu kamu, Mas .” Ucap Naila waktu itu. Entah aku harus senang atau aku harus menjadi lebih gelisah. Maka hal ini harus aku bicarakan.

“Tapi ada yang aku takutkan. Aku merasa aneh, Wi,” Ceritaku kepada Dewi, sahabat Naila yang sengaja kuundang untuk membicarakan hal ini

“Aneh? Aneh kenapa? Bukannya kalian pasangan romantis di kampus. Banyak yang iri, tahu. Termasuk aku. Hehe,” Dewi bercanda. Tapi aku tetap serius.

“Aku merasa ini bukan cinta,”

“Tunggu-tunggu. Maksud kamu apa!? Suara Dewi mulai meninggi

Tunggu di tempat biasa. Sebentar lagi aku ke sana. Kali ini penting.

Seperti yang kalian duga. Itu pesan dari Naila. Aku harus menyelesaikan ini dengan cepat sebelum Naila datang. Lalu aku melanjutkan.

“Yah… aku gak tahu. Aku ngerasa aku gak cinta. Aku ngerasa, waktu itu aku cuma gak mau sendiri aja.  Dan lebih baik aku dan Naila sahabatan aja. Jadi, aku bingung gimana mau ngomong ini sama Naila,”

“Kamu gila, Mas! Gak nyangka, kamu tega gini!” Kemarahan Dewi memuncak, ia bersiap meninggalkanku.

“Aku juga gak ngerti, Wi! Tapi ini yang aku rasain sekarang!” Ia berdiri menatapku. Aku melakukannya juga. Bersiap menghalang Dewi jika ia meninggalkanku.

“Plak!”

3 kertas terlempar ke wajahku. “Makasih, Mas.” Ia berlari

“Nai! Tunggu! Ini bukan…” Teriakkanku berusaha mencegahnya, tapi tak berhasil. Ia malah berlari semakin cepat. Saat aku mencoba mengejarnya, tangan Dewi menahanku.

“Dia perlu waktu, Mas.” Aku mengangguk. Kubiarkan Dewi mematung di situ saat aku ingin pergi membasuh wajah di toilet.

Aku melihat ada wajah yang tak baik di depanku. Dia gelisah dan takut. Wajah pucat dan keringatnya menunjukkan itu. Ketika aku memberinya senyum, ia juga ikut tersenyum. Tapi, aku tahu di balik senyumnya masih tersimpan kegelisahan dan ketakutan.
Ketika aku membasuh wajahku dengan air, diam-diam aku mencuri pandang ke arahnya lagi. Kau tahu? Dia tetap mengikutiku. Ini bukan kebetulan. Aku seperti imam, dia seperti makmum. Selalu mengikuti.  Ya, cermin di depanku. Hanya cermin dan Tuhan yang tahu hal-hal tersembunyi dalam diri. Aku mencintai Naila sekedar sebagai cinta kepada sahabat. Entahlah, bagaimana bisa terjadi. Tiba-tiba pikiranku menjawab, aku harus menyelesaikan ini sekarang juga.

Aku mengejar Naila, tapi sayang tak ada lagi sisa-sisa jejaknya. Parfumnya sudah hilang dibawa angin, air mata yang ia jatuhkan sudah kering dimakan kendaraan di jalanan. Tapi aku tetap mencarinya. Ke toko boneka, ke taman, ke restaurant saat ia dan Syarif jadian, lalu kembali ke café tempat Naila mendengar apa yang aku ceritakan kepada Dewi. Sia-sia. Aku tak menemukannya.

“Apa mungkin dia berada di gang dekat café ini?”

Keyakinanku mengatakan dia berada di sana. Aku kembali berlari menabrak angin malam yang dingin. Ternyata berlari di malam hari dengan jaket tebal tak merubah rasa bahwa angin malam sangat dingin. Tubuhku seperti beku. Tak terasa aku sudah sampai di tempat ini. Sudah kutebak, Naila… Yah, Naila tak ada di sini.

“HAI BODOH! SEHARUSNYA AKU YANG LEBIH DULU DI SINI. KENAPA DARI TADI KAU MENDAHULUIKU!” Itu suara Naila. Aku menoleh, jaraknya 5 meter dari tempatku berdiri.

“HEI PINTAR! JADI DARI TADI KAMU DI BELAKANGKU!?” Jeritku agar Naila mendengar jelas. “Nai, maafin aku… tapi ini yang aku rasain.”

Tiba-tiba tubuhku basah. Tersiram air dari atas salah satu rumah warga. “HEH! TAHU JAM GAK? INI UDAH JAM BERAPA! MIKIR! TENGAH MALEM JERIT-JERIT.” Aku menarik lengan jaketku. Melihat jam.

“Masih jam 9 kurang 12, Pak!”

“Oh… Berarti jam bapak yang salah. Maaf. Hehe.”

Naila hanya tersenyum melihatku. Lalu ia mendekatiku, membisikan telingaku. “Hei bodoh. Asal kamu tahu, orang pintar bisa membuat orang bodoh jatuh cinta kepadanya. Lepas sepatumu!”

“Untuk apa?” Aku melepas sepatuku, berharap orang bodoh ini bisa merubah perasaanku

“Lariii…!”

“Telat! Udah basah gini.” Ia menarik lenganku. Berlari. Lari perempuan sangat pelan. Karena muak, untuk kedua kalinya aku menggendongnya. Kemudian memberinya 3 kertas yang dilemparnya tadi. 3 desaign kertas undangan pernikahan.

“Buat aku jatuh cinta, Nai. Bukan cinta sebagai sahabat, tapi cinta sebagai pendamping hidup. Selamanya.”


2 comments:

  1. Mau kasih info aja deh >_<
    Untuk pemilik kafe, sekarang ada kemasan makanan namanya Greenpack.
    Dengan menggunakan kemasan ini anda bisa membranding brand kafe anda pada bagian atas kemasannya secara free! Tanpa dikenakan biaya apapun.

    Info lebih lanjut klik di sini http://www.greenpack.co.id/

    ReplyDelete
  2. INGIN CEPAT JADI JUTAWAN YUK MARI GABUNG

    SEKARANG JUGA

    KharismaPokerMenjadiSitusBandarQOnlineTerprca

    yaIndonesia
    Promo yang diberikan :
    Minimal DP dan WD Rp. 20.000.
    Support bank lokal : BCA, BNI, BRI, MANDIRI, dan

    DANAMON.
    Bisa dimainkan di iPhone, Android, PC / Laptop.
    Online 24 jam setiap hari meskipun hari libur

    nasional.
    Memiliki link alternatif Resmi :
    -www.khpk288.net
    - www.Berlian288.com
    - www.permata288.com
    CS nya yang ramah , siap melayanani anda 24 jam
    Bonus REFERRAL 20% setiap minggunya (seumur

    hidup)
    Bonus CASHBACK 0.3- 0,5% setiap hari
    Contact resmi kharismaPoker :

    Telp :+85588278896
    BBM;dc7cdd80
    WA: +85588278896

    ReplyDelete

Terimakasih udah ngeluangin waktunya buat baca ini. Sebelum pergi, baiknya tinggalkan jejak. Jejak untuk dikenang. Dikenang keindahannya. Jadilah tak terlupakan. Silakan coret kalimat di kolom komentar. :)