Kumpulan cerpen romantis: Membelah Bagianmu

21:12 Unknown 0 Comments

Kumpulan cerpen romantis: Membelah Bagianmu

Kumpulan cerpen romantis: Membelah Bagianmu

Air tehnya mulai berubah warna, sebab es batu di dalamnya terus mencair. Tapi yang kutunggu belum juga datang. Malam dan gelap memberi keheningan, sudah pukul sembilan lebih tujuh menit, tapi yang kutunggu belum juga datang. Tapi aku yakin dia akan datang. Sembari menunggunya, aku menghidupkan laptop dan mulai menulis. Aku pernah dengar, katanya bercerita itu mempercepat putaran jam. Segalanya tak terasa saat kita bercerita. Aku akan membuktikan dalil tersebut. Bercerita lewat tulisan. Aku bukan penulis, aku hanya ingin menulis hal-hal yang aku ingat sebelum aku lupa atau sebelum aku melupakannya.

Aku memberi judul tulisan ini “Bagianmu”. Aku berharap saat kamu membaca tulisan ini, kamu juga dapat mengingat sebelum kamu lupa, Jels. Lupa itu bukan soal umur, tapi soal ingatan yang menolak lupa atau menolak mengingat.

Pada tulisan ini, aku membelah beberapa bagian untuk mengingatmu, Jels.

Bagian pertama, saat aku bertemu kamu.

Sedikit lucu memang, waktu itu aku masih TK. Aku berlari dari kejaran ibuku saat beliau tak mau membelikanku es cream. Wajar saja, waktu itu aku memang sedang tak enak badan, tapi aku ingin, Jels. Aku berlari sekencang-kencangnya sampai aku terjatuh setelah menabrakmu. Ah, bukan kamu, tapi ibumu yang menggandeng tanganmu. Kamu ingat, Jels?

Ibu akhirnya mendapatiku. Dan sebuah kejutan dari semesta terjadi, ternyata ibumu adalah teman dekat ibuku dari SD sampai SMP. Dari kejadian itu, ibuku sering bermain ke rumahmu begitu juga sebaliknya. Dan otomatis kita pun menjadi teman dekat yang selalu bersama. Aku yakin kamu ingat, Jels.

Bagian ke-dua, Tuhan memberiku rasa dan memberiku waktu untuk mengungkapkan.

Entah tingkatan cinta ke-berapa waktu itu, tapi yang jelas aku memiliki perasaan lebih dari teman kepadamu, Jels. Tepat kelas dua SMP –yang memang kita dari dulu satu sekolah-  aku sudah memiliki perasaan itu, tapi aku malu mengatakannya. Atau bukan malu, aku tak memiliki nyali. Sampai pada suatu ketika, nyali itu berhasil aku kumpulkan satu tahun setelahnya. Tepat setelah kelulusan SMP, aku menyatakannya.

“Aku juga suka sama kamu,” suaramu masih polos waktu itu. Aku masih ingat anggukan dan senyummu itu. Indah.

Kau tahu, Jels? Hari itu aku benar-benar senang. Dan lucunya lagi, di perjalanan pulang, kita sudah membicarakan perayaan jadian kita tahun depan, pernikahan kita, berapa banyak anak kita nanti. Haha. Itu sangat lucu, Jels. Bagaimana bisa seumuran kita sudah memikirkan hal itu. Entahlah.

Tapi aku suka. Begitu juga denganmu yang terbukti dari senyuman dan genggaman tanganmu. Keduanya tulus. Benarkan, Jels? Mengaku saja?

Bagian ke-tiga, aku kehilanganmu, Jels.

Tepat tiga hari setelah kita jadian, aku ke rumahmu membawakan coklat dan sebuah kalung. Kamu suka coklat, Jels. Maka dari itu aku membelinya sekaligus dengan kalung perak berinisial namamu. Kamu tahu, Jels? Semua itu aku beli dengan uang tabunganku sendiri selama kurang lebih satu tahun. Tapi ternyata, rumahmu tak ada siapa-siapa, Jels. Kamu pindah ke Bandung satu hari yang lalu. Pindahanmu mendadak sekali, Jels. Aku tak tahu kenapa, kamu atau ibumu tak mengabari kami.

Sejujurnya aku malu mengatakan ini, Jels, tapi aku ingin sekali mengatakannya. Saat aku tak menemukanmu waktu itu, aku menangis. Selama berhari-hari. Aku benar-benar lemah, ya, Jels.

Bagian keempat, kita bertemu lagi.

Tuhan mungkin menjodohkan kita. Tolong amin-kan ini, Jels. Kita bertemu kembali di Universitas yang sama di Jogja. Dan perasaanku pun masih sama saat kita bersama di sini. Bagaimana dengan perasaanmu, Jels?

Ternyata, aku tak boleh mencintai, Jels. Semua orang berkata demikian. Aku tak boleh meneruskan perasaan ini. Aku tak boleh mencintaimu, Jels.

Biar kuulang, aku tak boleh mencintai orang yang sudah memiliki pacar. Aku tak boleh mencintai orang yang saling mencintai. Aku tak boleh mencintaimu, Jels. Tetapi aku tetap mencintaimu.
Maafkan aku, Jels.

Bagian ke-lima, aku menanti seseorang yang orang itu tak tahu bahwa aku menantinya.

Aku menantimu, Jels. Harapanku sedikit jahat, hubungan kamu dengannya berakhir. Aku masih belum tahu tingkatan ke-berapa cintaku ini. Cinta monyet yang orang bilang itu mungkin saat ini telah berevolusi menjadi manusia. Jika Darwin masih hidup, mungkin teorinya bilang begitu. Apakah ini lucu, Jels? Aku ingin melihatmu tertawa. Tapi ini tidak lucu. Pada bagian ini, aku merasakan patah hati, Jels.

Aku ingat waktu kita SD kamu mentertawakan gigi atasku yang baru saja patah.

“Ompong-ompong, ompong-ompong! Ompong! Bwek!” katamu mengejek kemudian berlari. Aku malah tak marah, aku tersenyum sambil mengejarmu.

“Kata ibuku, kalo gigi atas yang patah, buangnya ke bawah begitu sebaliknya agar giginya kembali tumbuh,” ceritaku kepadamu saat kita berbaring sembari melihat awan sebab merasa lelah setelah berkejaran.

Seminggu setelah itu, saat kita sedang bermain hujan, tiba-tiba gigi bawahmu patah, Jels. Aku tertawa tapi kamu malah menangis, maka aku menghentikan tawaku. Aku mengikuti seperti yang dikatakan ibu. Jika gigi bawah yang patah maka membuangnya harus ke atas, genting rumah salah satu tempatnya.
Tapi lemparanmu begitu lemah saat itu, mungkin kamu sudah menggigil sebab hujan.  Dan gigimu itu malah terjatuh ke dalam kubangan tanah yang baru saja digali untuk membuat kolam ikan di taman rumahmu. Lantas, aku menakutimu bahwa gigimu tidak akan tumbuh kembali. Kamu kembali menangis, dan saat itu tangisanmu lebih mengharukan. Ibumu membawamu pulang karena khawatir kamu akan demam, hujan juga sudah reda. Kamu tahu, Jels? Saat ibumu menyuruhku untuk pulang, aku tidak langsung pulang. Aku mencari gigimu dalam kubangan itu, sampai ibuku mengomeliku karena bajuku penuh tanah. Maaf, aku tak menemui gigimu, Jels. Tapi syukurlah, gigimu tetap tumbuh. Entah memori macam apa yang ada di otakku, aku bisa mengingat hal yang berkaitan denganmu, Jels.

Satu hal yang ibu lupa beri tahu atau aku yang tak pernah bertanya; jika hati yang patah, ke mana kita harus membuangnya, bu?

Bagian ke-enam, harapan jahatku terjadi.

Aku mau mengatakan ini kepadamu, Jels; saat kamu berpisah, tepat pada saat itu ada hati yang entah harus berduka atau bahagia. Aku merasakan hal itu, Jels. Aku sedih melihatmu sedih, tapi tak kupungkiri, aku bahagia, karena peluang bersamamu makin melebar.

Kita menjadi dekat lagi. Aku sering menemuimu di rumah tantemu. Ya, kamu tinggal bersama tantemu. Dan kamu pun sering bermain ke rumahku. Dan kita, sering bertemu di tempat ini.
Warung mie ayam pinggir jalan. Kamu suka sekali dengan mie ayam. Aku tak tahu kenapa kamu menyukainya, sama seperti aku tak tahu kenapa perasaanku kepadamu bisa selama ini, Jels. Maka dari itu, aku tak pernah bertanya kenapa kamu menyukai mie ayam.

Tepat saat hari ulang tahunku, kamu mengejutkanku.

Temui aku, Ris. Tolong… 

Saat itu tepat tengah malam. Tanpa berpikir lagi aku menyusulmu sesuai isi pesanmu. Dengan celana pendek dan kaos, aku segera berlari kurang lebih sejauh  tiga kilometer, sebab saat sorenya kamu membawa motorku. Sebenarnya aku kesal ketika sampai di sana dengan tubuh yang hampir beku dan kaos yang benar-benar basah karena keringat, kamu dan teman-teman kita malah tertawa seenaknya.

“Surprice!!!” teriakmu lalu semua bernyanyi lagu ulang tahun.
Tanda tanya besar saat itu, “kenapa kejutan itu di rumah mantanmu, Jels?”

Bagian ke-tujuh, aku mengulang bagian kedua.

“Perasaanku belum berubah, Jels, masih sama atau malah lebih parah lagi. Aku masih mencintaimu, Jels. Kita belum putus kan waktu itu. Aku ingin mengulangnya, kamu mau kan, Jels?” aku menggenggam tangamu tepat di tempat yang sedang aku duduki sekarang. Kamu hanya tersenyum melihatku. Agak lama kamu menjawabnya, sebelum bicara kamu mengambil napas panjang.

“Maaf,” katamu singkat. Tapi aku masih tersenyum, karena kamu suka bercanda. Tapi kemudian kamu melepas genggamanku.

“Aku balikan sama Dika, sehari sebelum ultah kamu. Dan kejutan itu ide Dika. Maafin aku…” katamu datar. Kemudian kamu menunduk. Saat itu, bagian tempat keberadaan jantungku seperti ditembus dengan tangan, kemudian diremasnya dengan kasar, lalu ditarik keluar dengan paksa dan terlepas dari organ tubuh.

Perih sekali, Jels.

Kalimat yang kamu ucapkan waktu itu seperti kabar meninggal kedua orangtua. Ingin marah tapi bagaimana, ingin menjerit tapi bagaimana. Kepalaku tiba-tiba berat saat itu, pandanganku menjadi buyar. Aku langsung meninggalkanmu.

Patah hati itu rasanya benar-benar sakit, ya, Jels.

Jika hati yang patah ke mana kita harus membuangnya, bu? Ke atas atau ke bawah? Ke genting rumah atau ke got, bu?!

Aku jadi ingat saat aku masih kecil dulu. Sedang berlarian di dalam rumah, aku terjatuh ke lantai terselandung mainanku sendiri. Kepalaku benjol waktu itu, dan aku menangis. Lalu ibu datang dan bicara.

“Siapa yang nakal, nak? Siapa yang buat kamu sakit?” tanya ibu lembut, aku hanya menunjuk pelakunya, “Ini? pukul, pukul!” kata ibu sambil memukul mainanku, aku mengikutinya. Aku berhenti menangis. Lalu ibu menggendongku. Saat itu aku merasa tak sakit lagi, Jels. Aku lupa rasanya.

Bisakah hal ini aku coba, Jels? Aku benar-benar sakit. Apa aku harus memukul pelakunya, Jels? Apakah aku harus memukul orang yang aku cintai, bu? Apa aku harus memukulmu, Jels?
Sepertinya hal itu malah membuatku semakin sakit, bu…

Bagian ke-delapan adalah saat ini, Jels.

Tulisanku sebentar lagi selesai, Jels. Tapi kamu belum juga datang. Sebaiknya jangan datang dulu sampai tulisanku selesai.
Aku melihat jam di pergelangan tangan, pukul sebelas lewat dua puluh menit. Kamu belum juga datang, Jels. Baiklah, aku melanjutkan tulisan ini saja. Pada bagian ini aku mengulang bagian ke…

Berat sekali menulisnya, Jels. Sampai-sampai tak terasa aku menjatuhkan air mata. Aku memang lemah, Jels.

Pada bagian ini aku mengulang bagian ke-lima.

Aku menanti orang yang tak pernah tahu bawha aku menantinya.

Aku menunggu orang yang tak pernah tahu bahwa aku menunggunya.

Aku menantimu, Jels. Kamu tak datang. Kamu tak tahu.



Jeda untuk melanjutkan tulisan di atas sangat lama, Jels. Aku benar-benar lemah. Aku menangis lagi. Tapi aku harus menyelesaikan tulisan ini. Pada penutup kalimat ini, aku ingin mengatakan…

Aku ingin terus mencintaimu...

Terimakasih atas undangan pernikahanmu malam ini. Maaf, aku tak datang, Jels.

Aku ingin berhenti mencintaimu…

Selesai.

Aku membereskan barang-barangku dan beranjak pulang. Air tehnya telah meluber, semua es batu di dalamnya sudah mencair. Dan mudah-mudahan hatiku yang beku dan biru ini lama-kelamaan bisa mencair juga. Tapi hati bukan es batu. Tidak semudah dan secepat itu, Jels.

Biasanya aku kebal terhadap dingin saat bersamamu, Jels. Aku selalu memberikan jaketku kepadamu saat jalan pulang seperti ini. Tapi malam ini, aku kedinginan, Jels. Aku butuh dua jaket atau tiga atau lima atau aku ingin berhenti mencintaimu, Jels. Aku mempercepat langkahku, entah kenapa ada sedikit kesal yang ingin dibuang, ada air mata yang tertahan untuk dijatuhkan.

Terkadang apa yang kamu inginkan tak dapat kamu dapati. Pilihannya, kau menyalahi atau kau menerima dengan sepenuh hati.

Selamat berbahagia, Jels…

0 komentar:

Terimakasih udah ngeluangin waktunya buat baca ini. Sebelum pergi, baiknya tinggalkan jejak. Jejak untuk dikenang. Dikenang keindahannya. Jadilah tak terlupakan. Silakan coret kalimat di kolom komentar. :)