Cerpen Cinta Romantis "Melihat Penjara"

07:28 Unknown 3 Comments

Cerpen Romantis Terbaru: Melihat Penjara

Cerpen Cinta Romantis "Melihat Penjara"

Entah kenapa perempuan selalu ditempatkan dalam posisi menunggu. Menunggu laki-laki bicara lebih dulu, menunggu laki-laki menjemputnya, menunggu sampai laki-laki peka terhadap apa yang perempuan mau atau menunggu laki-laki melakukan apa yang seharusnya laki-laki lakukan kepada perempuan. Menikahinya, membelanjakannya, misalnya. Ah, sudahlah.

Seperti saat ini, aku sedang menunggu. Menunggu tidak akan jadi masalah jika semuanya pasti. Tapi, kebanyakan dan kenyataannya adalah menunggu itu untuk hal yang tidak pasti.

Saat ini, apakah Yuda benar-benar menepati janjinya untuk datang ke tempat ini? Aku menunggunya, meski beberapa hari ini tak ada kabar tentangnya.

“Sorry, gue lihat dari tadi bangkunya kosong, biar gue aja yang isi, ya,” kata laki-laki berambut gondrong, dengan kaos lengan panjang abu-abu, membawa secangkir kopinya tiba-tiba menempati kursi yang seharusnya diduduki Yuda.

“Maaf, Mas, itu –“ Aku berusaha mencegah.

“Gue tahu,” Dia mengangguk-angguk, “gue bakal pindah, kalo yang kamu tunggu udah datang.”

“Tapi –“

“Please...” katanya memohon, "gue bakal traktir semua makanan yang kamu pesan. SEMUA. Gue cuma butuh pendengar. Please..."

Melihat dari air mukanya, aku menerka laki-laki ini jujur, tetapi...sangat aneh.

Yang kutakutkan dari dia adalah kesalahpahaman antara Yuda dan aku. Bukankah manusia pintar memberi nilai sebelum benar-benar mengenal? Kurasa Yuda seperti itu.

Laki-laki berambut gondrong itu mulai bercerita…

***

Tepat malam itu, gue berlari mengikutinya dari belakang –tentunya secara diam-diam-. Perempuan dengan jeans dan kaos warna putih di atas vespa yang bergerak santai. Begitu menarik perhatian dan sayang untuk dilewatkan. Pasalnya itu perempuan paling penting dalam hidupku. Aku membawa kue ulang tahun, hari itu aku berulang tahun.

“Gue pergi untuk cari tanggal buat kita. Kenapa enggak bisa bersabar sebentar, sih?! Gue ninggalin kamu baru seminggu, An!“ bentakku.

“Seminggu, setahun, se-abad pun, bukan itu masalahnya, Wa?!” Ia balas membentak.


“Lalu apa, An?!”


“Pekerjaan!” jawabnya cepat. Gue cuma bisa diam saja.


 “Oke. Kenapa kamu memperbolehkan laki-laki lain membawa vespa-ku, An…” Ia memandang, tapi kemudian beranjak dari kursi mengambil sesuatu dan melemparnya mengenai badanku. Gue menarik napas panjang, semoga kepalan tangan bersabar dan berhenti untuk menindaklanjuti. Setelah mengambil kunci vespa itu, gue pergi dengan segala kehilangan.


***

“Oh… jadi, Mas, diselingkuhi? Memang peker –“ Lagi-lagi ia memotong pembicaraanku. Aku mulai sedikit kesal.

“Gue gak punya pekerjaan. Mungkin enggak akan punya," katanya. Matanya mulai berkaca-kaca. "Cerita ini belum selesai. Masih panjang. Mending minum dulu." Ia mengangkat cangkirnya.

***

Setelah itu gue pulang. Malam itu benar-benar dingin, tubuh gue seperti mayat yang berjalan. Mungkin karena gabungan antara patah hati dan angin malam, tubuh menjadi biru dan beku. Terkadang, kecewa itu hanya nama yang kita berikan untuk alasan harapan yang tak terjadi. Kecewa sebenarnya tak ada, jika kita tak berharap atau telalu berharap.

Tapi gue terlalu berharap atau lebih dari itu.

“Trantang!”


Bunyi kaleng bekas minuman soda yang gue tendang atas nama kekecewaan. Rasa kecewa saat itu benar-benar rewel tak mau pergi.

“Hei!” ucap perempuan itu lemah. Kaleng bekas minuman soda itu tepat di dekat kaki kanannya.

“Maaf,” gue berkata. Dia tak menjawab, mengangguk pun tidak. Tatapan matanya menakutkan, seperti ingin membunuh. Dingin dan mematikan. Sungguh, diamnya perempuan itu memang lebih mengerikan dari auman binatang buas. Gue serius, coba saja jika ibumu mendiamkanmu.


Ia berjalan kembali melewati bahu kananku. Aku mengamati matanya yang sembab, seperti habis menangis lama atau... 


“Brug!!”

Tubuhnya ambruk tak jauh dariku.


***

“Sebenatar, biar aku tebak. Mas membawa perempuan itu dan Mas melampiaskannya, dan Mas—“ Seperti sebelumnya, laki-laki ini memotong lagi. Ingin sekali aku menyiramkan kopi panas ini ke tubuhnya.

“Bukan!”

“Pantas ditinggal, Mas selalu memotong pembicaraan perempuan,” kataku pelan

“Kenapa?! Maksudmu apa?!” Aku menggeleng-geleng saja.

“Tidak-tidak, teruskan ceritanya, Mas.” Aku tersenyum palsu.

***

Lalu gue membawa perempuan itu ke kontrakanku. Beberapa menit setelahnya, segerombolan orang yang tak gue kenal menyergap. Gue benar-benar panik waktu itu, tubuh itu seperti mengecil semakin terjepit. Ditambah pengakuan perempuan itu bahwa gue ingin memperkosanya. Gue melihat penjara di depan mata. Tangan sudah diikat dengan tali oleh segerombolan orang itu. Tidak bisa apa-apa lagi. Malam itu benar-benar mengawali kesialan untuk umur baru gue.

Tapi setelahnya, pacar gue, An datang. Gue dijebak. Apalagi ketika mereka semua mengucapkan “Happy birthday Dewa!" Dengan kue ulang tahun yang An bawa. An berhasil memberi surprice, gue enggak tahu gimana bisa dia melakukannya dengan begitu rapih. Gue tersenyum manis.


Tapi dalam sekejap kemudian, gue kembali melihat penjara.

***

“Tunggu-tunggu, melihat penjara? Maksudnya apa?” Aku mengernyitkan dahi, menunggu jawabannya. Memang, kali ini dia tidak memotong pembicaraan, tetapi ia tak bicara apa-apa.
Perlahan ia meneteskan air mata. Aku tambah bingung. “Mas? Gak apa-apa?” Ia tersenyum, mengedipkan matanya ke arah langit-langit atap. Menyeka tangisannya, kemudian menyeruput kopi hitam yang mungkin sudah dingin.

“Karena gue enggak tahu rencana An yang mengejutkan gue, karena emosi, gue menyesal udah membuang vespa ke jurang,”

Seketika itu kebingunganku pecah dengan tawaku.

Yang benar saja, laki-laki dengan wajah sadis ini menangis hanya karena menyesali vespa-nya yang ia buang sendiri? LOL.

“Membuang vespa gue dan mayat laki-laki yang bersama An sebelumnya.”

Aku menelan ludah. Jika saja aku mendengarnya ketika sedang minum, pasti aku sudah mati tersedak. Mendengar penyataannya tiba-tiba napasku sesak, padahal oksigen begitu banyak untuk dihirup.

“Kamu tahu? Gue membunuhnya karena prasangka. Gue telah membunuhnya karena kesalahpahaman. Gue telah membunuhnya karena menilai sebelum benar-benar mengenal,” katanya pelan, “semoga kamu bisa mengambil pelajaran dari cerita ini. Semoga ini terhitung sebagai kebaikan yang pernah gue lakuin dalam hidup. Terimakasih sudah mendengarkan, gue enggak bakal melupakan wajahmu. Maaf, siapa namamu?”

“Melly.”

"Thanks, Me-ly," Ia berdiri, beranjak dari kursi. “Oh, ya, sayang sekali, kamu tidak memesan makanan apapun."


Senyumnya yang terakhir, kemudian pergi. Aku sampai lupa, tak memesan apapun ketika mendengar ceritanya.

Gantian aku yang tidak bisa apa-apa. Tubuhku seperti semakin mengecil semakin terjepit. Karena cerita laki-laki itu, tiba-tiba keringat dingin memenuhi wajahku.

Dan aku melihat penjara.

***

Seminggu setelah itu, aku bertemu kembali dengan laki-laki berambut gondrong itu. Dalam hatiku, aku telah memaafkan atas mayat Yuda yang ia buang ke jurang bersama vespa-nya, dan semoga dia juga memaafkanku atas kematian pacarnya.

Aku bertemu laki-laki gondrong itu di sel tahanan dengan kasus yang sama; membunuh An beberapa hari setelah aku melihat ia dan Yuda.

Perselingkuhan Yuda tak bisa kuterima.

Mungkin aku terlambat, tidak bisa mengambil pelajaran dari ceritanya. Tapi aku telah menulis cerita ini sebaik mungkin sampai mereka yang membacanya mengira bahwa ini cerita fiktif padahal yang terjadi adalah sebaliknya. Semoga mereka bisa mengambil pelajaran dari cerita kita. Maaf, aku tak pandai menulis cerita. Semoga pesanku dan pesannya sampai kepada siapapun yang membaca. Seperti yang pernah ia bilang; semoga ini terhitung sebagai kebaikan yang pernah aku lakukan dalam hidup.

Aku melihat penjara dengan segala penyesalan di dalamnya.

3 comments:

  1. mas mau nanya, melly membunuh An itu atas dasar apa? apa melly balas dendam gitu ya ke dewa karena sudh bunuh pacarnya??

    ReplyDelete
    Replies
    1. Lebih tepatnya; Melly bunuh An, alasannya sama seperti Dewa bunuh Yuda. Melly dan Dewa sama-sama ngeliat Yuda dan An waktu di vespa. Hiiii.

      Delete
    2. nah ini mas, setelah mas revisi dan saya baca lagi, saya lebih mengerti alur dari cerita ini,, tapi tetap aja waktu saya pertama kali baca ini, sangat membuat saya terkejut... hehehhehe
      ga bosan saya baca ini

      Delete

Terimakasih udah ngeluangin waktunya buat baca ini. Sebelum pergi, baiknya tinggalkan jejak. Jejak untuk dikenang. Dikenang keindahannya. Jadilah tak terlupakan. Silakan coret kalimat di kolom komentar. :)